Friday 25 February 2011

Rasulullah SAW Mengenakan Cincin


Didalam beberapa riwayat hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw mengenakan cincin. Pada awalnya Rasulullah saw mengenakan cincin yang terbuat dari emas sebelum adanya pelarangan mengenakan emas bagi kaum laki-laki. Diantara beberapa riwayat itu adalah apa yang disebutkan oleh Imam Malik didalam kitabnya ‘al Muwattha’, dari Adullah bin Umar bahwasanya Rasulullah saw pernah mengenakan cincin dari emas kemudian Rasulullah saw membuangnya dan beliau bersabda,”Aku tidak akan mengenakannya selama-lamanya.’ Maka manusia yang menyaksikannya pada saat itu pun membuang cincin-cincin mereka.

Didalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata bahwa cincin Rasulullah saw terbuat dari perak dan batu (cinicin) nya adalah batu Habasyi.” (HR. Muslim)

Adapun bentuk cincin Rasulullah saw sebagaimana disebutkan Ibnul Qoyyim bahwa sekembalinya beliau saw dari Hudaibiyah kemudian beliau saw menulis surat kepada para Raja di bumi yang dibawa oleh para kurirnya. Tatkala beliau hendak menulis surat kepada raja Romawi maka dikatakan kepadanya saw,”Sesungguhnya mereka tidak akan membaca suatu surat kecuali apabila dibubuhi tanda (stempel).” Maka beliau saw menjadikan cincinya yang terbuat dari perak yang diatasnya terdapat ukiran terdiri dari tiga baris. Muhammad pada satu baris, Rasul pada satu baris dan Allah pada satu baris. Beliau pun menyetempel surat-surat yang dikirimkan kepada para raja dengannya serta mengutus 6 orang pada satu hari di bulan Ramadhan tahun 7 H. (Zaadul Ma’ad, juz I hal 119 – 120)

Dijari Apa Beliau saw Mengenakannya ?

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq berkata,”Aku menyaksikan ash Shalt bin Abdullah bin Naufal bin Abdul Mutthallib mengenakan cincin di jari kelingking kanan.” Maka aku mengatakan,”Apa ini?’ dia menjawab,’Aku pernah melihat Ibnu Abbas mengenakan cincinnya seperti ini dan menjadikan batu cincinnya dibagian luarnya.’ Dia mengatakan,’Tidaklah Ibnu Abas meyakini hal itu kecuali dia menyebutkan bahwa Rasulullah saw mengenakan cincinnya seperti itu.’ (HR. Abu Daud)

Al Mundziri mengatakan,”hadits ini dikeluarkan at Tirmidzi.” Dan dia juga berkata,”Telah berkata Muhammad bin Ismail yaitu al Bukhori bahwa Hadits Muhammad bin Ishaq dari ash Shalt bin Abdullah bin Naufal ini adalah hadits hasan.” Imam Muslim didalam shahihnya dari hadits Tsabit dari Anas bin Malik berkata,”Cincin Nabi saw dikenakan di sini, dia mengisyaratkan kepada jari kelingking kirinya.” Dan An Nasai juga mengeluarkan hadits seperti ini.

Adh Dhaya’i juga mengeluarkan hadits Qatadah dari Anas berkata,”Bahwa aku melihat putihnya cincin Nabi saw di jari kirinya.” Dan orang-orang didalam sanad hadits ini bisa dijadikan argumentasi didalam keshahihanya. At Tirmidzi juga mengeluarkan hadits Abi Ja’far Muhammad dari bapaknya berkata,”Hasan dan Husein mengenakan cincin di tangan kirinya.” Dan dia mengatakan bahwa hadits ini shahih. (Aunul Ma’bud, juz XI hal 210)

Dari beberapa riwayat hadits diatas tampaklah bahwa ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw mengenakan cincin pada jari kelingking kanannya namun ada juga riwayat yang menyebutkan pada jari kelingking kirinya.

Para ulama berbeda pendapat didalam menggabungkan hadits-hadits yang berbeda tersebut. Ada diantara mereka yang menyamakan kedua hal tersebut, artinya cincin itu bisa dikenakan di jari kanan atau kiri. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa pada awalnya Rasulullah saw mengenakan cincin pada tangan kanan namun kemudian beliau saw memindahkannya ke tangan kiri.

Adapun pendapat Imam Nawawi didalam Syarh Muslimnya menyebutkan bahwa ijma’ para fuqaha membolehkan pengenaan cincin pada tangan kanan dan membolehkannya pada tangan kiri serta keduanya tidaklah dimakruhkan. Mereka berbeda pendapat tentang yang paling utama karena banyak para ulama salaf mengenakan cincin di tangan kanan dan banyak pula di tangan kiri. Malik menganjurkan untuk dikenakan ditangan kiri dan memakruhkan pengenaannya di tangan kanan. Sedangkan didalam madzhab kami (Syafi’i) bahwa tangan kanan lebih utama karena ia adalah hiasan sedangkan tangan kanan lebih mulia dan lebih berhak untuk perhiasan dan kemuliaan. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 102)

Cincin Emas atau Perak

Pada awalnya Rasulullah saw mengenakan cincin yang terbuat dari emas namun setelah ada pelarangan pengenaan emas bagi kaum laki-laki maka beliau pun membuangnya dan tidak mengenakan lagi cincin yang terbuat dari emas selama-lamanya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bahwasanya Rasulullah saw pernah membuat cincin dari emas dan menjadikan batu cincinnya berada dibagian dalam telapak tangannya. Tatkala beliau saw mengenakannya maka manusia (pada saat itu) membuat (cincin). Kemudian beliau saw duduk diatas mimbar dan melepasnya seraya bersabda,”Sesungguhnya aku mengenakan cincin ini dan menjadikan batu cincinnya dibagian dalam.”maka beliau saw melemparnya dan mengatakan,”Demi Allah aku tidak akan mengenakannya selama-lamanya.” Maka manusia yang menyaksikannya saat itu pun membuang cincin mereka.” (HR. Muslim)

Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw mengenakan cincin yang terbuat dari perak dan diukir ditasnya (tulisan) Muhammad Rasulullah. Dan beliau saw mengatakan,’Aku telah mengukir diatasnya Muhammad Rasulullah, maka janganlah salah seorang mengukirnya (seperti ukiran Muhammad Rasulullah).”

Imam Nawawi menyebutkan bahwa kaum muslimin telah bersepakat dibolehkan mengenakan cincin dari perak bagi kaum laki-laki, namun sebagian Ulama Syam dahulu pernah memakruhkan pengenaannya selain oleh orang yang memiliki kekuasaan, mereka menyebutkan suatu atsar dimana atsar ini agak aneh dan tertolak.

Al Khottobi mengatakan bahwa cincin perak makruh dikenakan oleh kaum wanita karena ia merupakan simbol kaum laki-laki. Dia mengatakan,”Apabila seorang wanita tidak mendapatkan cincin dari emas maka celuplah dengan warna kuning dari kunyit atau yang menyerupainya.” Dan pendapatnya ini pun lemah atau batil tidak tidak memiliki landasan. Yang benar adalah tidaklah makruh bagi seorang wanita mengenakan cincin dari perak. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 94)

Wallahu A’lam

0 comments:

Post a Comment