Website Para Ustadz

Kumpulan website resmi para ustadz-ustadz terpercaya, Insha Allah.

Googling atau Yufiding?

www.yufid.com adalah islamic search engine, atau mesin pencari ilmu-ilmu islam.

Sunnah Witir diluar Ramadan

“Wahai orang-orang yang cinta kepada Al-Qur’an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) yang ganjil.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah)

7 Orang Sukses Kuliah sambil Ngaji

Sukses Dunia Akhirat, Why Not?

Waktu-Waktu Terkabulnya Do'a

Jika bekerja pun ada waktu-waktu yang tepat,begitu pula dengan Do'a

Tuesday 30 August 2011

Berhari Raya Dengan Siapa?


Sudah beberapa tahun ini, sering kali kaum muslimin di Indonesia tidak merasakan berhari raya bersama-sama. Mungkin dalam berpuasa boleh berbarengan, namun untuk berhari raya kadang kaum muslimin berbeda pendapat. Ada yang manut saja dengan keputusan Departemen Agama RI (pemerintah). Ada pula yang manut pada organisasi atau kelompok tertentu. Ada juga yang mengikuti hari raya di Saudi Arabia karena di sana sudah melihat hilal. Ada pula yang berpegang pada hasil hisab dari ilmu perbintangan. Ada pula yang semaunya sendiri kapan berpuasa dan berhari raya, mana yang berhari rayanya paling cepat itulah yang diikuti. Lalu manakah yang seharusnya diikuti oleh seorang muslim? Berikut kami bawakan beberapa fatwa Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’).


[Fatwa Pertama - Sekelompok Orang Berhari Raya Sendiri]

Fatawa no. 10973

Soal: Di negeri kami ada sekelompok saudara kami yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa memelihara jenggot. Akan tetapi, mereka ini menyelisihi kami dalam beberapa perkara. Di antaranya adalah dalam berpuasa Ramadhan. Mereka enggan untuk berpuasa sampai mereka sendiri dengan mata kepala melihat hilal (bulan sabit tanggal satu kalender Hijriah -pent). Pernah suatu waktu, kami memulai puasa Ramadhan satu atau dua hari sebelum mereka. Terkadang pula mereka berhari raya satu atau dua hari setelah kami merayakan Idul Fitri. Ketika kami bertanya pada mereka tentang puasa pada hari raya, mereka malah menjawab, “Kami tidak mau berhari raya dan tidak mau berpuasa sampai kami melihat sendiri hilal dengan mata kepala kami.” Mereka beralasan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah karena melihatnya“. Akan tetapi, mereka tidaklah menentukan ru’yah dengan alat tertentu sebagaimana yang kalian ketahui. Mereka juga menyelisihi kami dalam shalat ‘ied, mereka tidak shalat kecuali satu hari setelah ‘ied sesuai dengan ru’yah yang mereka lakukan. Semacam ini pula terjadi ketika Idul Adha, mereka menyelisihi kami dalam memulai menyembelih hewan kurban dan wukuf di Arofah. Mereka baru merayakan Idul Adha setelah dua hari kami merayakannya. Mereka tidaklah menyembelih hewan kurban kecuali setelah seluruh kaum muslimin menyembelih. Mereka juga shalat di masjid yang ada kuburan lalu mereka mengatakan bahwa tidaklah diharamkan shalat di masjid yang ada kuburan. Semoga Allah membalas amal kebaikan kalian.

Jawab: Wajib bagi mereka untuk berpuasa dan berhari raya sebagaimana manusia pada umumnya. Hendaklah pula mereka melaksanakan shalat ‘ied bersama dengan kaum muslimin yang lainnya yang berada di negeri mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ والإِفْطَارُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri adalah hari yang kamu semua merayakan idul fitri. Idul Adha adalah hari yang kamu semua merayakan idul adha.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 224)

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Fatwa Kedua - Menentukan Hari Raya dengan Ilmu Hisab]

Pertanyaan Kedua, Fatawa no. 2036

Soal: Terdapat perselisihan yang cukup sengit di antara ulama kaum muslimin mengenai penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Sebagian dari mereka beramal dengan hadits, “Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya“. Namun, ulama lainnya berpegang teguh dengan pendapat ahli falak (ahli ilmu perbintangan). Para ulama ini mengatakan, “Sesungguhnya ahli falak adalah pakar dalam ilmu perbintangan yang memungkinkan mereka untuk mengetahui awal bulan qomariyah (tanggal 1 bulan hijriyah).” Oleh karena itu, para ulama tadi mengikuti kalender (sesuai dengan ilmu perbintangan).

Jawab: Pertama, pendapat yang kuat yang wajib diamalkan adalah yang sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya. Apabila kalian tertutup mendung, genapkanlah bulan tersebut” (HR. Bukhari dengan berbagai lafazh). Hadits ini menunjukkan bahwa awal dan akhir bulan Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal. Dan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umum tetap kekal dan berlaku hingga hari kiamat.

Kedua, Allah ta’ala tentu mengetahui apa yang telah dan akan terjadi, ini berarti Allah juga mengetahui nanti akan muncul ilmu falak dan ilmu-ilmu yang lainnya. Namun, Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2]: 185)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan maksud ayat ini kepada kita,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari)

Dari penjelasan ini menunjukkan bahwa awal dan akhir puasa Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal dan tidaklah dikaitkan dengan ilmu hisab/ilmu perbintangan, padahal Allah telah mengetahui nanti ada ilmu perbintangan semacam ini.

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim kembali dan percaya pada syariat Allah yang disampaikan melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu menentukan awal dan akhir puasa dengan melihat hilal. Pendapat inilah sebagaimana ijma’ (kesepakatan) dari para ulama. Barangsiapa yang menyelisihi dalam hal ini dan beralih kepada ilmu hisab, maka perkataannya syadz (pendapat yang nyleneh) dan pendapat ini tidaklah perlu diperhatikan.

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Fatwa Ketiga - Perbedaan Penentuan Hari Raya Hendaknya Dikembalikan pada Keputusan Pemerintah]

Fatawa no. 388

Soal: Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2]: 185)

Begitu juga firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah [2]: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada kelapangan untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Mani’
Wakil Ketua: Abdullah bin Ghodyan
Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi

Itulah beberapa fatwa mengenai bagaimana sebaiknya kita berhari raya. Kesimpulan dari penjelasan di atas:

Penentuan hari raya bukanlah urusan pribadi atau kelompok, sehingga keputusan mengenai hal ini dikembalikan kepada pemerintah dan jamaah kaum muslimin.
Kita diperintahkan untuk melaksanakan puasa dan hari raya bersama dengan pemerintah dan jamaah kaum muslimin sehingga syi’ar Islam ini tampak dan tidak tampak perpecahan di tengah-tengah umat.
Penentuan hari raya tidaklah tepat menggunakan ilmu hisab karena kita diperintahkan untuk menentukan awal bulan qomariyah dengan ru’yah.
Hendaklah semua orang memahami bahwa masalah penentuan hari raya adalah masalah yang sudah terdapat perselisihan sejak dahulu di kalangan ulama, maka hendaklah perselisihan ini tidak memecah belah kaum muslimin. Hendaklah semuanya memahami bahwa penyatuan kalimat dan barisan adalah prinsip penting dalam agama ini.
15 Ramadhan 1429 H

Muhammad Abduh Tuasikal
Yang menginginkan umat ini bersatu di atas kebenaran

***

Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal

Thursday 25 August 2011

The True Love


CINTA. Tema yang tak lekang oleh waktu, yang selalu saja disuka oleh siapapun dan kapan pun. Cinta yang membuat dada bergetar karena jantung memompa darah lebih cepat dari biasanya. Cinta yang membuat dunia serasa penuh warna, bahkan tak jelas lagi antara maya dan nyata. Ya…cinta selalu saja asyik untuk dibicarakan.

Cinta tak melulu hubungan antara dua lawan jenis. Cinta tak selalu berisi hasrat dan nafsu semata. Cinta juga bisa meraih posisi tertingginya ketika kita bisa melewati hal berbau materi. Inilah ketika cinta menemui kehakikian dirinya, yaitu cinta kepada Yang Mahatinggi. Cinta Ilahi adalah cinta yang tak terperi dan tak pernah tergantikan.

Ada saatnya kita ditinggal oleh orang yang kita cintai. Ayah, ibu, dan saudara satu hari nanti akan pergi, entah karena pindah tempat tinggal di dunia atau bahkan menuju kea lam akhirat alias meninggal. Sahabat ada kalanya berkhianat. Kekasih pun ada masanya harus beranjak ketika masanya tiba. Sesetia apapun kekasih kita, dia tidaklah abadi. Keberadaan dirinya fana. Gelombang cintanya naik dan turun, labil, tak pernah stabil. Bila semua kondisi sudah begini keadaannya, tinggallah satu cinta yang bertahan untuk selamanya.


Cinta ini tak pernah mengenal akhir. Cinta ini begitu tulus, tak pernah mengharap apa pun dari yang dicintai. Cinta yang tak kenal usai dan tak kan pernah meninggalkan kita hingga kelak bumi dan seisinya usai. Sayangnya, seringkali kita menyia-nyiakan cinta putih ini. Ibarat matahari yang selalu bersinar di kala siang, tak jarang kita lupa akan keberadaannya itu sendiri. Keberadaan cinta dari Sang Mahacinta ini sering kita abaikan.

Di atas semua cinta yang ada, cinta yang satu ini berbeda. Di tengah mendurhakanya kita sebagai manusia, Dia, Sang Mahacinta tak pernah murka. Mahakasihnya terus mengalir. Terbukti masih disuplainya oksigen untuk kita hirup, dan nyawa untuk memperpanjang jatah kontrak kita di dunia. Padahal bila mau, bisa saja Ia menghentikan semua jenis penyewaan fana ini. Tapi sungguh, selalu ada celah yang diberi-Nya agar manusia mau bertaubat dan kembali pada-Nya.

Maka, pantas bila untuk cinta yang satu ini kita menghiba agar jangan sampai ia pergi. Apa jadinya diri ini bila cinta hakiki yang memayungi bumi, alam dan seisinya hengkang dan menghentikan semua suplai selama ini? Tak ingin hati membayangkannya. Bergetar dada hanya dengan berpikir selintas tentang kemungkinan Ia ingin sedikit memberi pelajaran pada kita. Na’udzubillah.

Jangankan sampai murka, sedikit pelajaran saja sudah cukup untuk membuat tunggang-langgang seisi dunia. Sebut saja tsunami, wasior, badai Katrina dan banyak lagi pelajaran lain yang diberi-Nya untuk kita. Memang ada peran serta tangan manusia atas semua kerusakan itu, tapi tanpa izin-Nya tentu tak mungkin semua itu terjadi.


Sungguh, tak ingin naungan cinta itu pergi meski sedetik. Cinta itulah yang memayungi kehidupan kita di bumi yang panas, gersang dank eras ini. Karena ada saatnya nanti, ketika semua orang yang dicinta telah berlalu dari kehidupan, tinggal kita seorang diri disini. Lantunan ‘Cinta jangan Kau pergi, tinggalkan kusendiri. Cinta jangan Kau lari, apa arti hidup ini tanpa cinta dan kasih sayang-Nya’, meresep hangat di jiwa, meninggalkan jejak yang semakin menambah timbunan rasa itu pada-Nya. Ya…pada-Nya saja, bukan yang lain. [ria fariana/voa-islam.com]

Monday 22 August 2011

Bintang-bintang Top Dunia Bertahan Demi Sebuah Keyakinan

Ketika ayat-ayat Alquran sudah melekat kuat dalam hati seseorang, tidak seorang pun yang dapat mengubah keyakinan tersebut. Walaupun hal itu harus mengorbankan karir, ketenaran, dan sebagainya.

Untuk menjadi bintang top dunia, khususnya di bidang olah raga, seseorang yang sudah mendapat hidayah Allah swt. tidak harus melepas jati diri sebagai Muslim taat. Bila iman sudah menancap ke dalam lubuk hati seorang Muslim, uang, harta, ketenaran dan berbagai tawaran dunia yang menggiurkan tidaklah sebanding nilainya dengan jati diri sebagai Muslim taat.

Paling tidak, inilah yang dirasakan oleh beberapa bintang top Muslim di dunia olah raga :



1. Sari Al-Shoq, pemain team basket wanita Swis kenamaan berumur 19 tahun yang berasal dari Irak ini, lebih memilih hengkang dari dunia basket yang sangat ia cintai ketimbang melepas kerudungnya. Salut mbak Sari!



2. Marwan Al-Shemakh. Penyerang team sepak bola Bordure Perancis asal Maroko ini terkenal dengan akhlaknya yang mulia. Dia menolak terbang ke Palestina di mana Yahudi mendirikan Negara Israel di sana untuk berlaga dengan team sepak bola Mukaby Heifa dalam putaran piala Eropa. Ia lebih memilih istirahat ketimbang bermain satu lapangan dengan musuh Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslimin. Ini adalah sikap mulia yang perlu dicontoh oleh para pemimpin dan tokoh umat Islam hari ini. Baro’ (berlepas diri) dari musuh-mush Allah itu bagian dari akidah Islam pak... Mungkin begitu yang tersirat dalam hatinya..



3. Amir Khan memenangkan pertarungan melawan rasis. Hatinya sangat terluka saat mendengar teriakan berbau rasisme yang dilontarkan para penonton saat dia bertanding di atas ring karena ia berkulit coklat dan beragama Islam. Sebagai seorang petinju Muslim, teriakan jahiliyah itu tidak lantas ia balas dengan jahiliyah pula. Namun ia buktikan dengan professionalisme di atas ring. Iapun berhasil mengalahkan dan mengkanfaskan lawannya seorang Yahudi ultra rasialis asal Amerika, Dmitry Salita. Terhinalah seorang Yahudi di hadapan ribuan pendukungnya sendiri. Lalu, Amir Khanpun berhak menyandang gelar juara tinju dunia 2009.



4. Para pemain Muslim di club Cartel Bebel menolak bertanding dengan team Paris Foot Gay yang semua pemainnya adalah para gay. Mereka siap dideportasi dari Prancis. Bahkan mereka menulis surat protes sambil menjelaskan bahwa akidah dan keyakinan mereka lebih penting dari pertandingan sepak bola. Mampukah para pemain Muslim di negeri ini bersikap seperti itu?



5. Lain lagi dengan Kanuti. Sebagaimana kebiasaanya, ia tetap berpuasa kendati sedang bertanding sekalipun. Padahal fatwa boleh berbuka di bulan puasa bagi Muslim yang profesi mereka olahraga dan digantikan pada bulan yang lain saat mereka istirahat. Namun, Fredrik Omar Kanuti ini tetap saja berpuasa di bulan Ramadhan tahun lalu. Saat di tanya kenapa, dengan enteng ia menjawabanya : Puasa memberi saya kekuatan lahir dan batin. Sebagai seorang penyerang di salah satu grup sepak bola Spanyol ternama, tentulah ia berlimpah uang karena bayaran yang sangat mahal. Namun, jati diri sebagai Muslim tidak pernah ia tinggalkan, seperti berpuasa Ramadhan, berdoa’a sebelum bermain dan ucapan syukur setelah mencetak goal, berzikir sedang bermain, shalat di awal waktu di manapun ia berada dan sebagainya.

Selamat berjuang wahai pahlawan Islam. Semoga kalian menjadi teladan para pemimpin dunia Islam dan generasi mudanya....

Saturday 20 August 2011

Menanti Malam 1000 Bulan


Mengenai pengertian lailatul qadar, para ulama ada beberapa versi pendapat. Ada yang mengatakan bahwa malam lailatul qadr adalah malam kemuliaan. Ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar adalah malam yang penuh sesak karena ketika itu banyak malaikat turun ke dunia. Ada pula yang mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam penetapan takdir. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar dinamakan demikian karena pada malam tersebut turun kitab yang mulia, turun rahmat dan turun malaikat yang mulia.[1] Semua makna lailatul qadar yang sudah disebutkan ini adalah benar.

Keutamaan Lailatul Qadar

Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ , فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4). Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)

Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5). Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga.[2] Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar.[3]

Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.”[4] Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.[5]

Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[6]

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”[7]

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.”[8]

Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun[9]. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”[10] Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.[11]

Do’a di Malam Qadar

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”[12]

Tanda Malam Qadar

Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.”[13]

Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot. [14]”[15]

Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.”[16]

Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”[17]

Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’[18]), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”[19]

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.[20]

Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, maka ia berarti telah dinilai menghidupkan malam tersebut”.[21] Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an.[22] Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[23]

Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?

Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”[24]

Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah,

Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf.[25]
Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
Memperbanyak istighfar.
Memperbanyak do’a.[26]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Friday 19 August 2011

Risalah Ramadhan(10): Memompa Semangat, Mengatrol Derajat


Syahdan, Kafur dan kawannya adalah dua orang budak berkulit hitam. Keduanya dibawa oleh tuannya kepada gubernur Mesir, Qathai’ bin Thulun, untuk dijual di pasar budak. Sambil menanti calon majikan baru yang akan membeli mereka, kedua kawan senasib itu terlibat obrolan ringan tentang cita-cita dan harapan mereka.

Kafur Al-Ikhsyidi bertanya, “Kalau boleh tahu, apa sih harapanmu?”

Kawannya menjawab, “Sederhana saja, aku berharap dijual kepada seorang pemilik restoran. Dengan begitu, aku bisa makan apa saja sepuasku dan kenyang kapan saja aku mau. Aku sudah bosan hidup selalu kelaparan begini.”

Kafur menimpali, “Aku justru berharap suatu saat nanti bisa menjadi penguasa Mesir, sehingga aku memerintah rakyat dan mereka menaatiku.”

Hari itu mereka benar-benar terjual. Sesuai harapannya, seorang pemilik restoran membeli salah seorang budak hitam tersebut dan membawanya pulang. Adapun Kafur dibeli oleh seorang komandan perang bernama Muhammad bin Thagj At-Turki yang memiliki gelar Ikhsyid.

Waktu terus berjalan. Sesuai harapannya, satu budak hitam itu bekerja di Restoran dan bisa makan kenyang setiap hari. Adapun Ikhsyid senantiasa menyertai tuannya dalam mengurus urusan negara, terutama bidang militer. Melihat Kafur memiliki minat, bakat, dan ketekunan yang besar; tak salah apabila tuannya memerdekakannya, menyayanginya dan mendidiknya ilmu militer dan politik dengan baik.

Karir politik dan militer tuan dan budak itu sungguh cemerlang. Jenjang demi jenjang mereka lalui dengan baik, sampai akhirnya pada tahun 323 H si tuan berhasil menjadi gubernur dan panglima militer tertinggi daulah Abbasiyah di Mesir. Ia menjadi penguasa otonom di Mesir dengan tetap mengakui tunduk di bawah kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad. Kafur diangkatnya menjadi tangan kanan; penasehat dan panglima militer.

Sebelas tahun kemudian, 335 H, Kafur Al-Ikhsyidi telah menjadi gubernur dan panglima militer tertinggi di Mesir, menggantikan mantan tuannya yang wafat. Kafur Al-Ikhsyidi kini telah menggapai cita-cita yang ia canangkan dahulu kala di pasar budak. Namun ia bukanlah tipe orang yang hidup hedonis dan lemah semangat. Ia bekerja terus dengan sungguh-sungguh, siang dan malam, sehingga kekuasaan Bani Ikhsyid semakin meluas. Dalam waktu lima belas tahun sampai saat ia wafat (349 H), kekuasaannya telah meliputi seluruh Mesir, Syam, dan tanah suci Makkah-Madinah.

Suatu hari, Kafur Al-Ikhsyidi berkeliling Mesir diiringi para pejabat tinggi dan pengawal untuk meneliti keadaan masyarakat. Saat singgah di sebuah restoran, Kafur Al-Ikhsyidi melihat bekas kawannya si budak hitam itu tengah memasak untuk para pengunjung. Pakaiannya lusuh, keringatnya bercucuran, dan tanda-tanda keletihan Nampak jelas pada raut mukanya. Melihat hal itu, Kafur Al-Ikhsyidi berkata kepada para pejabat dan pengawal yang mengiringinya: “Sungguh cita-citanya rendah sehingga mengantarkannya kepada keadaan yang sekarang kalian lihat ini. Adapun cita-citaku terbang tinggi hingga mengantarkanku kepada keadaanku saat ini. Jika saja cita-cita kami berdua sama, maka nasib yang akan kami alami pun akan sama.”

Setiap masyarakat dan bangsa memerlukan orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi. Sebab, mereka adalah pelaku kehidupan yang sejati dan calon-calon pemimpin di masa yang akan dating. Bukan hanya urusan kekuasaan, urusan akhirat pun demikian halnya. Betapa Allah SWT melebihkan derajat para pecinta akhirat yang bercita-cita tinggi atas para pecinta akhirat yang ‘biasa-biasa’ saja, meski mereka sama-sama merupakan calon penghuni surga. Sebagaimana Allah SWT firmankan,

لاَ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاَّ وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan satu derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga). Namun Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ (4): 95-96)

Allah SWT juga berfirman,

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

(QS. At-Taubah (9): 19-22)

Ada seorang ashabus shufah (shahabat yang tinggal sehari-hari di Masjid Nabawi karena tidak memiliki rumah, harta, dan kaum kerabat lagi). Namanya Abu Firas Rabi’ah bin Malik Al-Aslami. Ia menjadi pelayan Nabi SAW. Ia bercerita, “Aku tengah bermalam bersama Nabi SAW. Saat beliau bangun malam, aku mengambilkan air wudhu dan hal-hal yang beliau perlukan. Maka beliau bersabda kepadaku, “Mintalah sesuatu kepadaku!” Maka aku menjawab,

أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ

“Aku meminta dijadikan teman pengiring Anda di surga.” Beliau bertanya, “Adakah keinginan yang lain?” Aku menjawab, “Cukup itu saja.” Beliau lantas bersabda,

فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Jika begitu, bantulah aku untuk menyukseskan keinginanmu itu dengan cara memperbanyak sujud (shalat sunah).” (HR. Muslim no. 489 dan Abu Daud no. 1320)

Sungguh sebuah cita-cita yang beitu tinggi…membuatnya terbang ke surga dengan wasilah ibadah sunah dan berkah doa Rasulullah SAW.

Saudaraku seislam dan seiman…

Kita semua mengetahui, bahkan seratus persen meyakini, bahwa Ramadhan adalah bulan suci, tamu mulia, yang penuh dengan limpahan maghfirah, rahmat, hidayah, dan nikmat Allah SWT.

Kita semua mengetahui, bahkan seratus persen meyakini, bahwa tadarus Al-Qur’an, shalat tarawih dan witir, sedekah sunah, dan amal-amal kebajikan lainnya sangat dianjurkan di bulan ini…pahalanya dilipat gandakan sampai angka yang hanya diketahui oleh Allah SWT.

Namun ada beberapa pertanyaan yang layak kita ajukan kepada diri kita sendiri.

Kenapa berat rasanya membaca Al-Qur’an barang tiga atau empat juz saja per hari?

Kenapa sulit rasanya mengkhatamkan Al-Qur’an barang lima atau enam kali dalam satu bulan ini?

Kenapa kaki terasa berat dan mata terasa mengantuk apabila apabila imam membaca satu juz Al-Qur’an kali shalat tarawih berjama’ah?

Di manakah gerangan nilai khusyu’, thuma’ninah, dan lezatnya tadabur Al-Qur’an jika imam tarawih favorit kita adalah ‘ayam’ yang mematuk-matuk bak penumpang yang takut ketinggalan kereta? Imam yang membaca Al-Fatihah dalam satu tarikan nafas, melanggengkan al-ikhlash dan al-‘ashr sebagai bacaan wajib setiap raka’at, dan tak membaca doa-dzikir apapun dalam ruku’, sujud, I’tidal, dan duduk di antara dua sujud?

Mengapa barisan shaf tarawih semakin maju dan jama’ah tarawih semakin berkurang? Apakah karena bosan dengan materi kultum yang hanya pengulangan materi yang itu-itu saja? Ataukah karena semakin banyak yang melakukan tarawih sendiri-sendiri di akhir malam untuk meraih kekhusyu’an? Atau justru karena kekenyangan, malas, bosan, dan asyik menunggui sinetron religi yang tidak islami?

Sudah seimbangkah anggaran sedekah dan buka puasa-makan sahur kita di bulan kedermawanan ini? Ataukah kita hanya ingat zakat fithri belaka?

Jika mau, pertanyaan demi pertanyaan lain masih mengantri untuk kita ajukan kepada diri kita sendiri.

Namun yang jelas, acapkali rasa malas, bosan, dan kendurnya semangat telah mendera kita.

Kita hanya semangat di hari-hari atau pekan awal belaka. Begitu sepuluh hari telah berjalan, biasanya kita kedodoran. Kwantitas amal kebajikan kita menurun, terlebih kwalitasnya.

Saudaraku seislam dan seiman…

Tak diragukan lagi…kita memerlukan semangat yang tinggi…cita-cita yang menjulang..dari hari pertama sampai hari terakhir Ramadhan.

Menjadi orang yang bertakwa…mendapat ampunan dari segala dosa kecil dan besar yang telah lalu…mensucikan diri…meraih ridha Allah SWT dan surga-Nya…diselamatkan dari api neraka.

Semua itu harapan dan cita-cita yang sangat tinggi.

Jika cita-cita yang kita pancangkan demikian tingginya, bukankah sudah sepantasnya pula apabila kita juga mengerahkan segenap kemampuan terbaik kita untuk menggapainya?

Segalanya belum terlambat. Jika Allah berkenan memanjangkan usia kita, setidaknya masih ada sebelas atau selusin hari Ramadhan.

Itulah yang harus kita isi dengan sebaik dan sebanyak mungkin amal kebajikan.

Persiapkanlah diri kita sebaik mungkin, sebelum memasuki sepuluh hari yang terakhir…hari-hari I’tikaf dan muhasabah diri.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Risalah Ramadhan(9): Satu menit yang begitu berharga


Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang penuh berkah. Di bulan ini, Allah SWT melimpahkan hidayah, rahmat, maghfirah, dan nikmat-Nya melebihi karunia-Nya di bulan-bulan yang lain. Pahala shaum dan amal shalih lainnya dilipat gandakan sedemikian besarnya. Pintu-pintu surge dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu. Lebih dari itu, di setiap malam Allah SWT mencatat hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari api neraka. Subhanallah, begitu indah dan berkahnya bulan suci ini.

Bulan Ramadhan penuh dengan ladang amal shalih dan limpahan pahala yang tak terhingga. Meski demikian, tidak setiap orang menyadarinya dengan baik. Dari sekian orang yang sadar, hanya sedikit yang mampu mengisinya dengan baik. Dan dari sedikit orang yang sadar dan mampu mengisinya dengan baik, lebih sedikit lagi yang mampu menjaga semangat dan istiqamah sampai Ramadhan berakir.

Jika kita memiliki barang yang berharga, maka kita pasti akan memperhatikan, menjaga, dan merawatnya sebaik mungkin. Kita dilanda kekhawatiran manakala barang berharga tersebut hilang, rusak, atau turun nilainya. Demikian pula seharusnya sikap kita terhadap bulan Ramadhan. Kia harus merawat dan memanfaatkannya sebaik mungkin, agar kita mendapatkan limpahan pahala dan berkahnya. Kita akan sangat rugi apabila kita menelantarkan, menyia-nyiakan, dan mengacuhkannya.

Wujud dari mengormati, merawat, dan menjaga bulan Ramadhan adalah memanfaatkan setiap detik dan menitnya dalam amal kebajikan yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Tidak semestinya detik demi detik dan menit demi menitnya berlalu begitu saja, tanpa diisi dengan kegiatan yang mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah SWT. Kita harus senantiasa menanamkan kesadaran ini dalam siang-malam kita di bulan Ramadhan ini. Pikirkanlah, sesungguhnya satu menit di bulan suci ini bisa menjadi ladang amal shalih yang tidak pernah berhenti mengalirkan pahala.

Apa yang bisa kita lakukan dalam satu menit? Banyak.

Bayangkan, jika satu menit itu kita manfaatkan untuk membaca satu ayat Al-Qur’an yang terdiri dari tiga puluh huruf, maka kita mendapat pahala tiga puluh kebaikan. Setiap kebaikan dilipat gandakan sepuluh kali, maka nilai satu menit tersebut adalah tiga ratus kebaikan dalam buku catatan amal kita.

Kita bisa mendulang lautan pahala dari tiap menit di bulan suci ini dengan amalan yang ringan, mudah, tidak memforsir tenaga dan tidak memakan biaya. Kita bisa melakukan beragam amal kebaikan sambil berbaring, duduk, berdiri, atau bahkan berjalan. Misalnya:

Dalam satu menit, kita bisa membaca surat Al-FAtihah sebanyak 5 kali, maka kita bias mendapatkan pahala lebih dari 7000 kebaikan.
Dalam satu menit, kita bisa membaca surat Al-Ikhlash sebanyak 15 kali. Hal itu sama nilainya dengan pahala mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 5 kali.
Dalam satu menit, kita bisa membaca dzikir ‘Laa Ilaaha Illallahu wahdahu laa syariika lahu lahul mulku wa lahul hamdi wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir sebanyak 10 kali. Hal itu sama nilainya dengan memerdekakan empat orang budak dari anak keturunan Nabi Ismail.
Dalam satu menit, kita bisa membaca Subhanallah wa bihamdihi sebanyak 100 kali. Hal itu sudah cukup untuk menghapuskan dosa-dosa kecil kita walau sebanyak buih di lautan, selama kita terbebas dari syirik dan dosa-dosa besar.
Dalam satu menit, kita bisa membaca Laa haula wa laa quwwata illa billah sebanyak 40 kali. Dzikir ini merupakan tabungan kekayaan kita di surga kelak.
Dalam satu menit, kita bisa membaca istighfar sebanyak 100 kali. Istighfar adalah sebab dihapuskannya dosa, ditinggikannya derajat, dilapangkannya rezki, ditolaknya musibah, dan diberikan jalan keluar dari segala kekusahan.
Dalam satu menit, kita bisa membaca subhanallah wa bi hamdihi ‘adada khalqihi wa ridha nafsihi wa ziinata ‘arsyihi wa midaada kalimatih sebanyak sepuluh kali. Pahala lafal dzikir ini sudah melebihi berpuluh kali lipat bacaan tasbih dan dzikir lainnya.
Dalam satu menit, kita bisa membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebanyak sepuluh kali. Hal ini sudah sama nilainya dengan seratus kebaikan untuk diri kita sendiri.
Dalam satu menit, kita bisa membaca Subhanallah wa bihamdihi Subhanallahil ‘azhim sebanyak 50 kali. KAlimat ini ringan di lisan, namun berat dalam timbangan akhirat, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman SWT.
Dalam satu menit, kita bisa membaca Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaaha illallahu Allahu Akbar sebanyak 25 kali. Kalimat ini merupakan ucapan yang paling dicintai oleh Allah SWT.
Dalam satu menit, kita bisa membaca laa ilaaha illallahu sebanyak 50 kali.
Dalam satu menit, kita bisa mengangkat kedua tangan dan membaca do’a yang ringkas namun mengandung semua kebaikan yang diperlukan di dunia dan akhirat, jawami’ul kalim.
Dalam satu menit, kita bisa menasehati seorang muslim, menyuruhnya berbuat kebajikan, mencegahnya berbuat kemungkaran, menyalami tangan beberapa orang, atau menyingkirkan duri dan gangguan sejenisnya dari jalan.
Hanya butuh satu menit…

Kita bisa menangguk pahala kebaikan yang banyak, menggugurkan dosa keburukan, meninggikan derajat, dan meraih ridha Allah SWT.

Jika menit demi menit kita manfaatkan secara maksimal…terkumpul satu jam yang penuh berkah dengan amal kebaikan.

Jika jam demi jam kita manfaatkan secara maksimal…terkumpul satu hari satu malam yang penuh berkah dengan amal kebajikan.

Duhai, alangkah banyaknya menit-menit kita yang terbuang percuma…

Betapa banyak jam-jam kita yang berlalu tanpa manfaat dunia dan akhirat…

Betapa banyak hari-hari dan malam-malam kita yang hangus, lenyap, dan tak pernah bisa kembali lagi…tanpa mendatangkan ridha Allah dan pahala melimpah dari-Nya.

Saudaraku seislam dan seiman…

Ramadhan masih menyisakan beberapa hari dan malam…

Masih ada banyak menit dan jam yang siap melimpahkan karunia Allah kepada kita.

Pertanyaannya, benar-benar seriuskah kita memanfaatkannya untuk meraih ridha Allah dan pahala tertinggi di sisi-Nya?

Semoga jawabannya adalah iya…dengan tekad bulat, ucapan lisan, dan amal perbuatan kita.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tuesday 16 August 2011

Ar Rayah Versus Merah Putih !


“Wah. Saya mirip Noordin M Top ya?” saya tanya lagi.

“Gak, Mas. Beda kok. Mukanya tidak sama.”

“Nah, Abang sendiri curiga darimananya kalau begitu?”

“Itu, Mas,” dia menunjukan keluar. “Kok pasang bendera Al Qaida di depan? Kan kami kemaren minta yang dikibarin bendera Merah Putih.”

“Hehehe… Sengaja, Bang.” Saya akhirnya teringat kalau kemarin malah mengibarkan Ar Rayah di tiang bendera. Bukan Merah Putih.

“Lho kok sengaja, Mas?”

“Bosan Bang. Habisnya dari dulu benderanya warnanya itu-itu saja. Kenapa sekali-kali tidak diganti. Biar fleksibel. Lagu sama buah-buahan saja ganti-ganti musim. Masa bendera itu terus.”

“Ya beda dong, Mas. Ini sudah diatur. Lagian ini demi memperingati perjuangan pejuang kita dulu.”

“Nah itu dia Bang. Alasan sebenarnya saya pasang berbeda itu juga untuk memperingati perjuangan pejuang kita dulu. Sekaligus mengingatkan kembali rakyat negeri ini pada bendera mereka yang sebenarnya.”

“Hah? Sejak kapan Indonesia benderanya jadi item begitu?”

“Abang belum tahu kan?!,” saya merasa diatas angin, “Dulu, bendera para pejuang kita itu sebenarnya seperti begitu.” Saya tunjukan telunjuk saya keluar. Ke itu tiang bendera.

“Imam Bonjol, Diponegoro, Fatahillah, dll, semua pakai bendera yang hitam itu,” saya teruskan pembicaraan. “Warna bendera Merah Putih itu ada baru-baru sekarang ini saja. Klaim kalau Merah Putih sudah ada sejak jaman Majapahit, Pajajaran, dan kerajaan-kerajaan dulu sebenarnya kontradiktif. Abang tahu kontradiktif?”

“Alat buat KB?”

“Itu mah kontrasepsi, Bang!”

“Hehehe…”

“Begini Bang. Kalau memang Merah Putih sudah diadopsi banyak kerajaan, kenapa Majapahit dan Pajajaran malah berperang di Bubat. Kenapa juga Mataram perang dengan Kediri. Logikanya kan, kalau benderanya sama maka tidak boleh perang. Benar tidak?”

“Mhmmm..”

“Ada tidak ceritanya The Jak perang dengan The Jak? Tidak ada kan! Yang ada juga The Jak perang sama Viking. Bonek perang dengan Arema. Itu karena bendera mereka berbeda.”

“Ya beda dong, Mas.”

“Betul memang beda Bang. Tapi harusnya kan itu dipikirkan lagi. Setidaknya kan kalau warna bendera sama. Minimal rasa satu kesatuannya pun sama,” kata saya. “Lagian Bang, andai kita bicara teori konspirasi-konspirasian, warna bendera Indonesia itu lebih dekat ke warna bendera Jepang dan pasukan khusus Belanda. Hanya variasi dibentuknya saja. Kalau seperti begitu, biasanya, menurut teori konspirasi-konspirasian, ada udang dibalik bakwan diantara mereka.”

“Ah si Mas ada-ada saja,” Bang Asmin menimpal.

“Bukan ada-ada saja, Bang. Memang adanya begini.”

“Iya tapi bendera yang Mas Begundal pasang itu kan bendera teroris.”

“Memangnya bendera teroris seperti itu ya, Bang? Bukan gambar tengkorak.”

“Gambar tengkorak tuh bajak laut kali!”

“Oh iya,” kata saya. “Terus darimana terorisnya itu bendera? Kan itu tulisan Arab. Kalau mau juga itu yang saya pasang disebut bendera pesantren. Atau bendera pengajian. Kan tulisannya arab gitu. Hehehe…”

“Di TV, pas pemakaman jenazah yang bom bunuh diri, ada tuh pelayat yang bawa bendera seperti yang Mas Begundal pasang.”

“Kalau begitu Muhammad Toha dan Muhammad Ramdhan juga teroris dong,” kata saya.

“Kok bisa? Mereka kan pahlawan.” kata Bang Asmin.

“Lha Muhammad Toha dan Ramdhan kan pelaku aksi bunuh diri juga. Ada loh korban warga Dayeuh Kolot juga. Tapi niat mereka berdua ingin mengusir penjajah. Kalau Toha ingin mengusir Belanda, nah yang Abang anggap teroris kan ingin mengusir Amerika,” jawab saya. ”Lagian Bom Marriot itu belum seberapa kalau dibanding sama bom syahidnya Toha cs. Mereka mah satu kota mereka bakar. Bandung jadi lautan api. Yang Marriot, ada Jakarta Lautan Api?”

“Ya kan mereka membela tanah air.”

“Apa karena mereka membawa bendera merah putih lantas mereka tidak pantas disebut teroris? Padahal saya yakin kalau mereka dulunya disebut teroris juga sama Belanda dan Sekutu.”

“Dulu belum ada teroris, Mas.”

“Ya kan teroris itu mah istilah yang diada-ada Bang. Tergantung siapa yang bilang. Kita tidak bisa melihat dari satu sisi saja. Coba Abang pikir. Kalau memang yang membawa bendera seperti yang saya pasang itu teroris, maka Imam Bonjol, Diponegoro, Fatahillah, Para Sunan, semuanya adalah teroris. Soalnya mereka kan bawa bendera itu.”

“Mhmm… Memang bener mereka bawa bendera seperti itu?”

“Benar Bang. Mereka kan berjuang mencontoh Nabi. Nah, Rasulullah ketika berjuang bawanya bendera seperti yang saya pasang itu. Abang berani tidak bilang Rasulullah itu teroris?”

“Ya tidaklah. Masa Rasulullah teroris.”

“Tapi Rasul kan benderanya begitu juga. Maka secara tidak langsung, saya dan Abang pun sebenarnya teroris. Anak buah teroris.”

“Ya nggak lah,” balas dia, “Tapi bener ya itu memang bendera Rasulullah.”

“Benar, Bang. Suer dech.”

“Iya tapi kan ini Indonesia bukan negara Islam.”

“Itu dia. Tadi kan saya sudah bilang. Saya hanya ingin mengembalikan bendera sebenarnya rakyat negeri ini. Bukan masalah negara Islam atau tidak Islam.”

“Oh.”

“Tapi jujur saja nih, Bang. Sebenarnya saya tidak punya bendera Merah Putih. Jadi saya pasang saja bendera itu,” ungkap saya sambil tersenyum manis banget.

“Kenapa nggak bilang dari tadi. Tau gitu saya pinjami punya RT.”

“Ah tidak usah repot-repot Bang. Kalau pun punya, tetap tidak akan saya pasang. Saya pasang yang itu saja. Kan ceritanya menghormati para pejuang dulu. Hehehe…”

“Ada-ada aja si Mas ini.”

Sambil tersenyum-senyum simpul, saya persilahkan Bang Asmin meminum air yang sudah saya siapkan dari tadi. Biar suasana menjadi cooling down pikir saya. Biar usus banjir. Biar airnya tidak diserobot jin yang lewat.

Source: Bendera, Begundal Militia, 2010, Cetakan 1

Risalah Ramadhan(8): Humor pelecehan dalam peringatan malam Nuzulul Qur’an


Selera humor penduduk negeri ini boleh dikata cukup tinggi. Dalam suasana santai maupun serius, senang maupun susah, lapang maupun sempit, canda yang diiringi ketawa-ketiwi tak pernah terlupakan. Tak heran apabila acara lawak di TV selalu laris manis. Semua masalah bisa diskenariokan sebagai bahan guyonan. Jangankan perkara remeh, carut-marut kondisi politik dan ekonomi saja sudah biasa jadi bahan lawakan.

Humor dalam kadar yang wajar memang baik untuk mengobati tekanan stress. Namun humor yang over dosis dan dalam suasana yang tidak tepat justru merupakan bentuk pelecehan dan ketidak seriusan. Salah satu humor yang keterlaluan adalah humor dalam ritual ibadah. Dalam artikel ini, kita tidak hendak membahas acara lawak yang senantiasa menghiasi acara TV sebelum buka puasa atau makan sahur. Kita hendak menyoroti humor Ramadhan yang lebih keterlaluan dari itu. Itulah peringatan malam Nuzulul Qur’an.

Sejak lama, tradisi di negeri ini mengenal perayaan malam nuzulul Qur’an yang dilaksanakan pada malam ke-17 bulan Ramadhan. Di mana letak humornya? Setidaknya pada dua hal. Pertama, pihak yang merayakannya. Kedua, waktu perayaannya. Untuk sementara, kita tidak akan membahas bid’ah-sunnahnya perayaan tersebut.

Anti Hukum Al-Qur’an Merayakan Malam Nuzulul Qur’an?

Jika kita perhatikan orang yang merayakan malam nuzulul Qur’an, niscaya kita akan menemukan humor yang sangat keterlaluan. Ironi, orang-orang yang sangat anti hukum Al-Qur’an tampil sebagai sosok terdepan dalam merayakan malam nuzul Qur’an.

Bayangkan, jika penguasa sekuler yang menolak Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi merayakan malam nuzulul Qur’an, bukankah itu namanya pelecehan 100 % terhadap Al-Qur’an?

Apabila penguasa sekuler yang menolak penerapan Al-Qur’an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berlagak sok memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, bukankah itu namanya penghinaan terhadap Al-Qur’an?

Jika penguasa sekuler menuduh tathbiq syari’atil Qur’an dalam ruang publik sebagai radikalisme, terorisme, fundamentalisme, dan anti demokrasi; lalu ia memberi khutbah peringatan malam nuzulul Qur’an, bukankah ini namanya penipuan dan pembodohan?

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang mutlak kebenaran dan kemaslahatannya. Ia mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Ia adalah pedoman hidup kaum muslimin dalam bidang akidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlak. Ia adalah undang-undang tertinggi di bidang ideology, ekonomi,politik, social, budaya, dan keamanan. Ia petunjuk jalan menuju ridha Allah. Ia pembeda antara al-haq dan al-batil. Ia rahmat Allah kepada seluruh hamba-Nya.

Namun penguasa sekuler tidak meyakini kebenaran fakta ini. Mereka lebih percaya kepada sistem demokrasi Barat, kapitalisme Barat, pluralisme Barat. Pedoman hidup penguasa sekuler adalah warisan nenek moyang yang musyrik dan penjajah zionis-salibis Barat. Lahir dan bati mereka adalah sekulerisme Barat. Bagi mereka, Al-Qur’an boleh diyakini sebagai kitab suci dari Allah…boleh dibaca…boleh dilombakan dalam MTQ. Tetapi tidak untuk dipahami secara murni…tidak untuk diamalkan sebaai pedoman hidup dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi mereka, hukum-hukum Al-Qur’an itu kuno, ketinggalan zaman, primitif, diskriminatif, kejam, tidak manusiawi, ekslusif, tidak relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi, tidak selaras dengan demokrasi, pluralism, liberalism, dan globalisasi.

Jika orang-orang semacam mereka ikut merayakan malam nuzulul Qur’an…bahkan berpetuah tentang pentingnya memahami dan mengamalkan Al-Qur’an…bukankah itu artinya pelecehan, olok-olokan, dan lawakan yang keterlaluan?

Benarkah 17 Ramadhan Malam Nuzulul Qur’an?

Sebagian besar penduduk muslim di negeri ini merayakan malam nuzulul Qur’an pada malam 17 Ramadhan. Belum pernah kita mendengar berita sebagian kaum muslimin negeri ini merayakannya pada malam Ramadhan lainnya. Ini sebuah lelucon tersendiri. Sudah tepatkah pendapat yang menetapkan malam 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Qur’an? Ataukah sebenarnya hal itu adalah kekeliruan yang telah diterima bersama? Dengan kata lain, bersepakat dalam kesalahan?

Sebagian pihak menyatakan Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada yaumul Furqan, yaitu hari terjadinya pertempuran antara pasukan Islam dan pasukan kafir. Malam tersebut adalah malam Jum’at, 17 Ramadhan tahun 2 H. Mereka berargumen dengan firman Allah SWT,

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnus-sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu. (QS. Al-Anfal (8): 41)

Argumentasi perayaan 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Qur’an dengan ayat di atas tentu saja lemah sekali. Sebab, perang Badar baru terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 H. Ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada malam perang Badar bukanlah ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun. Sudah jelas berdasar dalil syar’i dan fakta sejarah, bahwa sebelum peristiwa itu telah turun ayat Al-Qur’an selama 13 tahun di Makkah dan 17 bulan di Madinah (Rabi’ul Awwal 1 H-Sya’ban 2 H). Jadi, merayakan malam nuzulul Qur’an pada malam 17 Ramadhan adalah sebuah lawakan yang tidak lucu.

Lantas, kapan sebenarnya ayat Al-Qur’an pertama kali turun? Untuk menjawabnya, kita harus mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW berikut ini. Allah SWT menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, dalam firman-Nya:

(( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ))

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, yaitu bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah (2): 185

Bulan Ramadhan terdiri dari 29 atau 30 hari. Pada tanggal berapa tepatnya dalam bulan Ramadhan; tanggal 17 atau tanggal lainnya? Allah SWT sendiri yang menjawab pertanyaan ini dengan firman-Nya,

(( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ )) .

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr (97): 1-5)

((حم ، وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ ، إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ))

Haa Miim. Demi Kitab (Al-Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan (44): 1-3)

Dua ayat Al-Qur’an yang mulia di atas menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada lailatul qadri (malam yang agung), yaitu lailah mubarakah (malam yang dibekahi). Itulah malam yang nilai ibadah pada saat itu lebih utama dari ibadah selama 1000 bulan.

Dari sini, obyek pencarian kita semakin jelas. Malam nuzulul Qur’an adalah malam (lailatul) qadar. Tentang lailatul qadar,Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mencarinya pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Dan pada malam-malam ganjil dalam sepuluh malam terakhir tersebut, harapan untuk mendapatkan lailatul qadar lebih kuat.

Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

تَََحََرَّوْا لَََيْلَةَََ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2021 dan Muslim no. 1169)

Hadits yang semakna diriwayatkan juga dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan lain-lain.

Dari Abu Said Al-Khudri RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

إِنِّي أُرِيتُ لَََيْلَةَََ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِِ

“Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadar, namun aku dilupakan atau terlupakan darinya. Maka bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam yang ganjil darinya.” (HR. Bukhari no. 2016, 2018 dan Muslim no. 1167)

Maka, malam nuzulul Qur’an boleh jadi adalah malam 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29 atau 30 Ramadhan. Sampai di sini, kita masih meraba-raba, belum bisa memastikan. Namun sejak 14 abad yang lalu, Nabi SAW telah menjelaskannya secara tuntas kepada kita sehingga kita tidak perlu meraba-raba dan menduga-duga belaka. Beliau SAW adalah orang yang menerima wahyu pertama di gua Hira’ pada bulan Ramadhan tahun pertama kenabian. Tentu saja beliau sangat ingat malam bersejarah bagi dunia tersebut. Lalu, kenapa kita tidak bertanya langsung kepada beliau, peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada malam keberapakah dalam bulan Ramadhan?

Jika kita bertanya demikian, maka dengarkanlah jawaban Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu. Kepada kita, umatnya yang gemar merayakan malam nuzulul Qur’an ini, beliau menjawab,

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيم فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ ، وَالإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

Dari Watsilah bin Al-Asqa’ RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, Taurat diturunkan pada malam keenam Ramadhan, Injil diturunkan pada malam ketiga belas Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat Ramadhan.” (HR. Ahmad no. 16370, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Hadits yang semakna diriwayatkan oleh imam Abu Ya’la dan Ibnu Marduwaih dari sahabat Jabir bin Abdullah RA.

Nah, sabda Nabi SAW ini telah memberikan jawaban tuntas tentang teka-teki malam nuzulul Qur’an. Jadi, malam nuzulul Qur’an adalah malam ke-24 Ramadhan tahun pertama kenabian. Pada malam lailatul qadar, yaitu malam 24 Ramadhan tahun pertama kenabian tersebut, Al-Qur’an diturunkan sekaligus secara lengkap (30 juz, 114 surat, 6236 ayat) dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia. Kemudian setelah itu malaikat Jibril atas perintah Allah menurunkan wahyu Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW secara bertahap sedikit demi sedikit selama 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah), sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Isra’ (17): 106 dan Al-Furqan (25): 32-33.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Hadits ini berkesesuaian dengan firman Allah “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, yaitu bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran“ dan firman-Nya “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan”. Maka ada kemungkinan malam lailatul qadar pada tahun tersebut berada pada malam tersebut. Pada malam tersebut, Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia, kemudian pada malam kedua puluh empat Ramadhan diturunkan wahyu yang pertama, yaitu firman Allah “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan…” (QS. Al-‘Alaq (96):1-5)

Demikianlah yang juga dipahami oleh sahabat Ibnu Abbas dan diikuti oleh mayoritas ulama. Ibnu Abbas, sebagaimana kita ketahui, telah mendapat doa istimewa Rasulullah SAW agar menjadi ahli tafsir Al-Qur’an. Kepakarannya dalam tafsir Al-Qur’an telah diakui seluruh ulama sahabat, sehingga ia digelari Tarjumanul Qur’an, sang penerjemah (makna) Al-Qur’an. Berikut ini beberapa riwayat Ibnu Abbas tentang kesimpulan di atas,

Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada malam 24 Ramadhan, lalu diletakkan di Baitul Izzah pada langit dunia. Kemudian malaikat Jibril menurunkannya kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur.” (HR. Muhammad bin Nashr, Ibnu Marduwaih, Ath-Thabarani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Adh-dhiya’ Al-Maqdisi. Al-Hakim dan Adh-Dhiya’ menshahihkannya).
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada lailatul qadar pada bulan Ramadhan, yaitu pada malam yang diberkahi. Setelah itu diturunkan secara bertahap (dari langit dunia kepada Rasulullah SAW—edt) dalam beragam tahun dan bulan.” (HR. Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Muhammad bin Nashr, Ath-Thabarani, dan al-Baihaqi)
Ibnu Abbas berkata, “Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar, lalu setelah itu diturunkan (secara bertahap) dalam waktu 20-an tahun.” Ibnu Abbas lalu membaca dalilnya, yaitu firman Allah, “Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra’ (17): 106) (HR. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, An-Nasai, dan Al-Hakim. Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Sanadnya shahih)
Kesimpulan

Al-Qur’an diturunkan dalam dua proses:

Al-Qur’an diturunkan sekaligus secara lengkap (30 juz, 114 surat, 6236 ayat) dari lauh mahfuzh ke baitul Izzah di langit dunia. Sebagaimana dijelaskan oleh QS. Al-Baqarah (2): 185, Ad-Dukhan (44): 1-4, dan Al-Qadr (97): 1-5. Hal itu terjadi pada malam lailatul qadar, yaitu malam 24 Ramadhan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits.
Al-Qur’an diturunkan dari baitul Izzah di langit dunia kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur dalam waktu 23 tahun, dalam beragam bulan dan hari. Sebagaimana dijelaskan oleh QS. Al-Isra’ (17): 106 dan Al-Furqan (25): 32-33. Wahyu pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) turun kepada beliau pada bulan Ramadhan tahun pertama kenabian di gua Hira’.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Monday 15 August 2011

Risalah Ramadhan(7): ‘Senjata’ ampuh penghancur dosa


Bulan suci Ramadhan seringkali disebut syahrul maghfirah, bulan ampunan. Alasannya, di bulan ini banyak amal shalih yang berkhasiat sebagai ‘deterjen’ yang ampuh mencuci noda-noda dosa dari tubuh kaum muslimin. Salah satunya adalah shaum Ramadhan. Rasulullah SAW menegaskan bahwa shaum Ramadhan yang dilakukan dengan benar akan menyapu bersih dosa-dosa sampai hilang tak berbekas.

Penjelasan Rasulullah SAW tersebut merupakan kabar gembira bagi umat Islam yang melaksanakan shaum Ramadhan. Umat Islam akan semakin bersemangat mengisi bulan penuh berkah ini dengan amalan-amalan yang diwajibkan dan disunahkan. Tujuannya tentu saja mendapat limpahan ampunan Allah SWT, sehingga mereka keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan suci, bersih dari noda-noda dosa.

Di dalam hadits yang shahih dijelaskan sebagai berikut,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 38, Muslim no. 760, An-Nasai no. 2170, Ibnu Majah no. 1631, dan Ahmad no. 7130)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ))

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu dan dosa-dosa kecilnya yang akan datang.” (HR. Ahmad no. 8775. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan sanadnya hasan. Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi menyatakan sanadnya shahih)

Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah SAW mengaitkan pengampunan dosa-dosa orang yang shaum dengan dua syarat, yaitu iman dan ihtisab.

Syarat Pertama, Iman

Iman adalah meyakini kebenaran perintah dan janji pahala Allah. Artinya, ia mengimani bahwa shaum adalah perintah Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, dan ia mengimani pahala yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.

Sebagai seorang muslim, sikap kita adalah sami’na wa atha’na (mendengar dan menaati) semua perkara yang telah ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Setiap perintah Allah SWT pasti memiliki maslahat di dunia dan akhirat. Allah SWT juga menjanjikan pahala yang besar di sisi-Nya kelak. Demikian pula, setiap larangan Allah SWt pasti mengandung madharat di dunia dan akhirat. Allah SWT juga mengancam dengan siksaan yang pedih jika larangan-Nya dilanggar.

Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mumin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara diantara mereka ialah ucapan ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur (24): 51)

“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan yang muminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab (33): 36)

Dengan adanya kesadaran, penghayatan, dan ketundukan hati ini maka seorang muslim tidak akan ragu sedikit pun untuk mengerjakan perintah syariat dan meninggalkan larangan syariat. Ia akan berusaha mengerjakan perintah syariat dengan sebaik-baiknya, meski terasa berat bagi hawa nafsunya. Ia akan meninggalkan larangan syariat dengan patuh, walau untuk itu ia harus mencampakkan hawa nafsunya.

Dalam hadits shahih dijelaskan bahwa melaksanakan shaum Ramadhan adalah bagain dari iman kepada Allah SWT.

عن ابن عباس : (( إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ لَمَّا أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .. أَمَرَهُمْ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ ، قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ ؟ قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : شَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامُ الصَّلاةِ ، وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ ، وَصِيَامُ رَمَضَانَ ، وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ ))

Dari Ibnu Abbas bahwasanya rombongan utusan suku Abdul Qais datang kepada Nabi SAW…Maka Nabi SAW memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Beliau bertanya, “Tahukah kalian apakah beriman kepada Allah Yang Maha Esa itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau menerangkan: “Yaitu bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan kalian menyerahkan seperlima harta rampasan perang (suku Abdul Qais selalu berperang melawan suku musyrik Mudhar. Maka disyariatkan menyerahkan seperlima harta rampasan perang kepada baitul mal kaum muslimin, lihat QS. Al-Anfal (8): 41, -edt) (HR. Bukhari no. 53, Muslim no. 17, Abu Daud no. 4057, Tirmidzi no. 2536, An-Nasai no. 4945, Ahmad no. 2010, dan Ibnu Khuzaimah no. 1871)

Satu-satunya tujuannya adalah mengabdikan diri kepada Allah SWT. Ia meyakini sepenuhnya bahwa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat hanya bisa diraih dengan totalias ketundukan kepada syariatnya. Ia meyakini sepenuhnya bahwa buah ketaatan adalah ridha Allah SWt dan kenikmatan abadi di surga-Nya. Imannya menumbuhkan keyakinan yang mantap, tidak memberi ruang sedikit pun untuk ragu-ragu, menentang, atau menyimpang.

Allah SWT berfirman,

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An-Nisa’ (4): 13)

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nuur (24): 52)



Syarat Kedua, Ihtisab

Ihtisab adalah mengerjakannya semata-mata demi mengharap ridha Allah SWT dan pahala di sisi-Nya. Terkadang seseorang mengimani perintah Allah dan Rasul-Nya, namun ia mengerjakannya karena riya’, sum’ah, ujub, atau tujuan duniawi, sehingga perbuatannya tidak bisa disebut ihtisab.

Seorang muslim melakukan shaum Ramadhan semata-mata karena mengharap ridha Allah SWT dan janji pahala di sisi-Nya. Ia ingin termasuk hamba Allah SWT yang diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ia berharap dapat memasuki surga dari pintu Ar-Rayyan. Ia berhasrat shaumnya menjadi perisai diri dari segala kemaksiatan dan kebiasaan buruk. Ia menginginkan shaum menjadi pemberi syafa’at baginya di pengadilan akhirat kelak. Inilah landasan ia melakukan shaum, ihtisab lillahi ta’ala.

Seorang muslim tidak melakukan shaum karena ikut-ikutan dengan orang-orang di sekitarnya yang juga melakukan shaum. Ia tidak melakukan shaum agar dilihat dan dipuji sebagai orang shalih oleh orang-orang di sekitarnya. Ia tidak melakukan shaum karena hendak membanggakan amalnya di hadapan orang lain. Ia tidak melakukan shaum agar mendapat keuntungan duniawi; THR (tunjangan hari raya), libur Ramadhan, pengurangan jam belajar-mengajar dan kerja, penghematan uang belanja, dan lain-lain.



Dosa Amblas Blas..blas..blas…

Jika dua syarat ini terpenuhi, maka shaum yang dilakukan oleh seorang muslim akan membuahkan hasil yang indah di dunia dan akhirat. Keimanan, keshalihan, dan ketakwaannya akan meningkat. Setelah Ramadhan, ia menjadi orang yang lebih baik. Hubungan dengan Allah SWT akan lebih erat dan dekat. Kehidupannya juga lebih bermanfaat bagi sesama manusia. Ia seakan terlahir kembali. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini menjadi karakternya berhasil ia buang jauh-jauh. Kebiasaan-kebiasaan baik yang selama ini tidak pernah ia lakukan, kini menjadi menu amal hariannya. Ia benar-benar menunjukkan sosok hamba Allah yang telah dibersihkan dosa-dosanya. Ia sungguh memberi tauladan bagaimana menjalani lembaran kehidupan baru yang penuh dengan catatan kebaikan.

Apakah semua dosanya diampuni?

Sebagian orang menyangka bahwa hadits-hadits tentang shaum di atas menerangkan seluruh dosa orang yang shaum akan diampuni, baik dosa besar maupun dosa kecil. Anggapan demikian adalah keliru. Pendapat yang benar, dosa-dosa yang diampuni oleh amalan shaum adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar harus didahului oleh taubat nashuha, tidak cukup dengan shaum semata. Selain itu, ia juga harus merealisasikan tauhid dan bersih dari syirik. Demikianlah yang dijelaskan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.

Allah SWT menjelaskan bahwa amalan yang diterima-Nya adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang berislam, beriman, dan bertauhid. Sebanyak dan sebaik apapun amalan seorang hamba, jika dicampuri oleh kesyirikan atau kekufuran, pasti akan ditolak oleh Allah SWT. Amalannya akan sia-sia belaka, sedikit pun tidak ada nilainya di sisi Allah SWT.

Allah SWT berfirman tentang amal kebaikan orang-orang kafir,

“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim (14): 18)

“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun… Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir dia tiada dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS. An-Nuur (24): 39-40)

Allah SWT berfirman tentang amal kebaikan orang-orang musyrik,

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am (6): 88)

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (Muhammad SAW) dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar (39): 65)

Dalam hadits yang shahih juga disebutkan,

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : (( مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا يُصَلِّي الْخَمْسَ وَيَصُومُ رَمَضَانَ غُفِرَ لَهُ ، قُلْتُ : أَفَلا أُبَشِّرُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : دَعْهُمْ يَعْمَلُوا ))

Dari Mu’adz bin Jabal RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menghadap Allah SWT tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, menunaikan shalat wajib lima waktu, dan melaksanakan shaum Ramadhan, niscaya dosa-dosa (kecil)nya akan diampuni.” Mu’adz berkata: “Tidakkah sebaiknya aku memberitahukan kabar gembira ini kepada orang-orang?” Beliau menjawab, ”Biarkan saja mereka melakukan amal (shalih lainnya juga).” (HR. Ahmad no. 21253. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1315)

Demikian pula, dosa-dosa kecil bisa dihapuskan dengan amalan shaum apabila dosa-dosa besar terlebih dahulu ditinggalkan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT,

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’ (4): 31)

Firman Allah SWT di atas ditegaskan ulang oleh Rasulullah SAW dalam hadits shahih berikut ini,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ : (( الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ ))

Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shalat wajib lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, (shaum) Ramadhan ke (shaum) Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa (kecil) di antara rentang waktu tersebut, jika ia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233, Tirmidzi no. 198, Ibnu Majah no. 1076, dan Ahmad no. 7089)

Kesimpulan

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih di atas bisa disimpulkan bahwa shaum Ramadhan merupakan amalan yang dapat menghapuskan dosa-dosa kecil yang telah lalu dan dosa-dosa kecil yang akan datang, apabila telah terpenuhi beberapa syarat berikut:

Pelakunya adalah seorang muslim yang beriman dan bertauhid, bersih dari dosa kufur dan syirik.
Ia melakukan shaum karena ikhlas mencari ridha Allah semata dan sebagai bentuk perwujudan iman kepada-Nya.
Ia menjauhi dosa-dosa besar.
Semoga kita termasuk golongan umat Islam yang memenuhi syarat-syarat ini, sehingga Allah SWT berkenan menghapuskan dosa-dosa kecil kita yang telah lalu dan yang akan datang. Amin.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ajakan Dzikir Anjing hu akbar di IAIN Bandung

Kasus ucapan mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung dalam ta’aruf dengan
mahasiswa baru September 2004 cukup menyentak. Di antaranya perkataan: “Selamat bergabung di area bebas
tuhan”. Malah ada seorang mahasiswa dari jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin mengepalkan tangan dan
meneriakkan, “Kita berzikir bersama anjing hu akbar.”

Berikut ini cuplikan laporan utama Tabloid Republika Dialog Jum’at, 22 Oktober 2004 berjudul Terpeleset Filsafat di
Bandung:
Jum’at, 27 September 2004, sore hari. Ratusan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati
Bandung, melakukan prosesi penerimaan mahasiswa baru atau yang biasa disebut taaruf.
Sebagai institusi Islam, taaruf juga akan mempelajari masalah keislaman secara sepintas. Mereka akan mempelajari
bagaimana Islam dulu, kini, dan masa depan, serta bagaimana peluang IAIN dalam kehidupan bermasyarakat pada
masa depan.

Pada hari itu pula, panitia yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa, akan memperkenalkan seluruh
organisasi mahasiswa yang berada di lingkungan IAIN. Di saat pembawa acara memanggil setiap jurusan untuk maju
ke atas panggung dan memperkenalkannya, suara riuh dan sorak sorai mahasiswa baru menggema. Bahkan tidak segan
mereka melakukan tepuk tangan dan mengikuti ucapan Allahu Akbar, ketika diinstruksikan oleh senior jurusannya.
Hal berbeda terjadi pada Fakultas Ushuluddin. Fakultas yang terdiri dari lima jurusan yakni, Sosiologi Agama,
Perbandingan Agama, Tafsir Hadits, dan Aqidah Filsafat ini, disambut dengan tangisan sebagian mahasiswa.
Bagaimana tidak, sejak mereka memasuki ruangan dan menaiki panggung, seorang dari mahasiswa yang menjadi juru
bicara untuk fakultas itu, memulai dengan perkataan, “Selamat bergabung di area bebas tuhan”.

Jurusan Sosiologi Agama punya gaya sendiri menyambut juniornya. “Mahasiswa sosiologi agama adalah insan kreatif
inovatif yang sosialis demokratis. Beri kesempatan kepada teman-teman kami yang senantiasa mencari tuhan,” ungkap
ketua himpunan jurusan sosiologi agama.
Pernyataan yang lebih menakutkan keluar dari mulut salah satu di antara mereka. “Kami tidak ingin punya tuhan yang
takut pada akal manusia,” katanya. Namun perkataan itu tidaklah berarti ketika seorang mahasiswa dari jurusan Aqidah
Filsafat, mengepalkan tangan dan meneriakkan: “Kita berzikir bersama anjing hu akbar,” teriaknya lantang.
Dalam laporan Republika itu dikutip komentar ulama FUUI (Forum Ulama Ummat Islam) Bandung, KH Athi’an Ali
Da’I, “Ada dosen yang di depan kelas dengan bangganya mengaku sudah tiga bulan tak shalat.”

Dijelaskan, berkaitan dengan kasus ini, FUUI mengeluarkan empat fatwa. Namun khabarnya pihak Rektorat IAIN
Bandung justru mengancam FUUI dan membela mahasiswanya yang telah mengucapkan hinaan terhadap Allah SWT
di depan umum (para mahasiswa baru IAIN SGD Bandung) itu. Beritanya sebagai berikut:
Empat Fatwa FUUI untuk Kasus IAIN

BANDUNG—Kasus penghinaan melalui perkataan yang dikeluarkan oknum mahasiswa Aqidah Filsafat Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati (SGD), semakin meruncing. Setelah pihak Rektorat IAIN SGD
Bandung mengancam akan membawa kasus ini ke pengadilan, dengan tuduhan pencemaran nama baik, kini giliran
Forum Ulama Ummat Islam (FUUI), mengeluarkan empat fatwa.

Empat butir fatwa yang dikeluarkan FUUI itu, berisi tuntutan agar oknum mahasiswa yang telah menghina Islam wajib
dihukum mati. Hal ini sesuai dengan fatwa FUUI No 02/Dzulqo’idah/1421, mengenai Penghinaan Terhadap Islam. Hal
ini dikatakan Ketua FUUI, KH Athian Ali Muhammad Dai MA, saat konferensi pers pemutaran VCD, Sabtu (9/10
2004).
“Berdasarkan syariat Islam, mereka yang menghina Islam seperti pendeta Suradi dan Pendeta Poernama Winangun,
wajib dihukum mati,” katanya menjelaskan.

Imbauan kedua, kata dia, pemerintah dituntut segera melaksanakan tindakan hukum, untuk menghindari umat Islam
mengambil tindakan sendiri.
Maklumat ketiga, sambung Athian, mengimbau kepada pihak berwenang di IAIN SGD Bandung, untuk mensterilkan
IAIN dari individu, faham, silabus, maupun metodologi. Baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
berproyeksi jangka pendek maupun jangka panjang, yang sengaja ataupun tidak sengaja mengarahkan mahasiswa pada
pola pikir yang bertentangan dengan aqidah, akhlak dan syariat Islam.

Terakhir, sambung Athian, pihaknya mengimbau kepada orangtua untuk tidak melanjutkan pendidikan putra putrinya
ke IAIN, sebelum institusi itu steril. “Apabila memang telah telanjur, orang tua harus lebih memperhatikan aqidah,
akhlak, dan pelaksanaan syariat Islam,” katanya menandaskan.

Athian mengaku tak menyangka hal ini akan terjadi di kalangan yang notabene lembaga pendidikan tinggi Islam.
Bahkan, dirinya tidak habis pikir mengapa IAIN menuduhnya mencemarkan nama baik. Padahal, kata dia, dirinya
melakukan hal tersebut karena sayang terhadap IAIN dan ingin membantu perguruan tinggi tersebut.

Dikatakan Athian, dirinya telah mengundang pihak IAIN untuk bersama-sama menyelesaikan masalah ini. Namun
hingga acara berlangsung, tidak ada pihak IAIN yang menghadirinya. “Saya sudah mengundangnya, tetapi tidak ada
yang datang. Kalau seperti ini, tidak akan ada pembicaraan lagi karena untuk apa,” paparnya.

Dituturkan Athian, kasus ini muncul dari laporan sejumlah mahasiswa IAIN yang mengatakan di kampusnya ada upaya
pendangkalan aqidah Islam dengan menyatakan ‘Islam bukan satu-satunya agama yang benar’, serta pernyataanpernyataan
buruk lainnya. Ungkapan itu, sambung dia, merupakan penghinaan terhadap Allah SWT dan Islam.
“Mereka meminta bantuan kepada kami. Apabila kasus ini masuk ke pengadilan, mahasiswa itu siap menjadi saksi,”
katanya.

Koordinator tim advokasi FUUI, Rizal Fadhillah, mengatakan, maklumat ini sebagai langkah awal untuk melaporkan
okum mahasiswa itu ke Polda Jabar. Ditambahkannya, mereka terancam dijerat dua pasal sekaligus, yaitu pasal 156 A
KUHP tentang penodaan agama dan 156 B tentang ajakan tak ber-Tuhan. Sementara itu, Pembantu Rektor V IAIN
SGD Bandung, Mohammad Najib, mengatakan, pihaknya siap menerima tuntutan FUUI. Namun, diakuinya, pihaknya
tidak akan menyerahkan Faridl sebagai pelaku yang dimaksud FUUI, sebelum pihak rektorat melakukan uji otentik dan
uji konteks akademis kepada mahasiswa tersebut.

Najib menambahkan, pihaknya pernah memanggil Faridl untuk dimintai keterangan mengenai perbuatannya. Namun
setelah diperiksa, tim klarifikasi yang sengaja dibentuk rektorat ini, tidak menemukan hal yang menyalahi aturan.
“Pasalnya itu murni persoalan akademik. Tapi saya akan melakukan pemanggilan lagi,” katanya saat dihubungi
Republika, Ahad (10/10).

Allah Swt Membongkar Mereka
Umat Islam tidak usah payah-payah melacak pemikiran orang-orang IAIN, dengan adanya kasus yang menyentak
dilontarkan oleh mahasiswa IAIN Bandung, lalu dibela-bela oleh para dosen dan pimpinan di kampus, itu sudah
merupakan bukti nyata. Bahwa mereka memang modelnya seperti itu, cara membela masalah yang menghina agama
pun dengan memutar-mutar lidah seperti itu. Cara mereka berkelit pun sudah tampak nyata. Jadi tidak usah umat Islam
mencari dan melacak ke dalam-dalamnya, mereka sendirilah yang menampakkan jati diri mereka, isi kepala mereka.
Lebih jelas lagi penampakan jati diri mereka itu ketika dekan Ushuluddin IAIN Bandung berbicara di acara kontroversi
di TV 7 di suatu malam menjelang Iedul Fitri 1425H. Nama acaranya itu sendiri kontroversi, yang dalam hal ini kasus
“anjing hu akbar” dan “areal bebas tuhan” di IAIN Bandung itu. Ternyata kasus yang sudah nyata-nyata menghina
Alloh swt itu dibela benar-benar oleh sang dekan Ushuluddin IAIN Bandung. Bahkan dengan ungkapan yang
merendahkan FUUI, yang memprotes kasus itu, oleh dekan Ushuluddin diremehkan dengan menyebut bahwa orangorang
FUUI itu S2 saja belum lulus.

Pembelaan kepada mahasiswa yang telah kurangajar, dengan cara meremehkan orang lain seperti itu, justru
menampakkan diri sebagai orang-orang yang memang tidak pantas untuk memegang amanat ilmiah, apalagi agama
Islam. Karena Islam jelas mengecam kesombongan, di antaranya kesombongan model merendahkan orang lain atau
lembaga lain. Dari satu sisi, dia membanggakan lembaga IAIN-nya yang katanya banyak doctor dan professor, ternyata
tidak mempersoalkan masalah mahasiswanya itu. Sementara lembaga FUUI yang orang-orangnya belum lulus S2
malah mempersoalkan. Pernyataan seorang dekan Ushuluddin IAIN Bandung seperti itu sebenarnya justru meremuk
redamkan IAIN Bandung itu sendiri. Karena ternyata lembaga yang dipimpin oleh orang yang benar-benar sombong
dalam arti sebenarnya yaitu: alkibru bathorul haq wa ghomtun naas. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia. Ini jelas dalam hadits:
Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya
ada kesombongan seberat dzarrah/ biji (pun).” Seorang lelaki berkata, sesungguhnya lelaki (maksudnya Malik
bin Muroroh Ar-Rohawi) suka kalau pakaiannya bagus dan sandalnya bagus. Beliau bersabda: “Sesungguhnya
Allah itu Maha Bagus menyukai yang bagus. Sombong itu adalah menolak lagi mengingkari kebenaran dan
meremehkan manusia. (HR Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).

Qodarulloh, umat Islam ditunjuki bahwa isi di dalam IAIN di Indonesia adalah seperti itu. Mahasiswanya seperti itu
tingkah polah dan ucapannya, demikian pula dosen-dosen dan pimpinan fakultas maupun institutnya. Sehingga umat
Islam tidak usah berpayah-payah untuk menggali, sebenarnya isi orang IAIN di Indonesia itu seperti apa, ternyata
qodarulloh, mereka sendiri yang membongkarnya; ya mahasiswanya, ya dosen-dosennya, dan juga pimpinan fakultas
dan institutnya. Ditambah lagi pembongkaran yang dilakukan oleh tokoh Islam yang punya ghiroh Islamiyah tinggi,
sehingga umat ini mengetahuinya.
Al-Qur’an telah menggambarkan adanya pembongkaran rumah orang-orang kafir Ahli Kitab dengan tangan-tangan
orang kafir itu sendiri dan tangan-tangan orang mukminin. Maka tidak mengherankan, kalau penghinaan terhadap
Islam, terhadap Alloh swt pun dibongkar sendiri oleh pelaku-pelakunya beserta pembela-pembelanya, ditambah dengan
pembongkaran oleh Mukminin. Dalam persitiwa pembongkaran rumah-rumah orang kafir Ahli Kitab, Allah swt
mengabadikan kisahnya di dalam Al-Qur’an:
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin,
bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan
mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS Al-Hasyr/ 59: 2).

Apabila pembongkaran yang telah ditampakkan oleh Allah swt dalam kasus di IAIN Bandung itu tidak menjadi
pelajaran bagi pihak IAIN se-Indonesia (yang kenyataannya masyarakat umum tahu, rata-rata pemikirannya sama saja
model itu) maka Allah swt tidak sulit untuk membongkar mereka lebih dahsyat lagi, baik lewat orang-orang dari dalam
IAIN se-Indonesia itu sendiri maupun umat Islam atau bersama-sama. Bahkan pihak-pihak yang membela kesesatan
selama ini pun tidak sulit bagi Allah swt untuk membongkarnya. Dan adapun sampai mereka mati tidak terbongkar
pula, maka pengadilan di akherat kelak tetap akan mereka derita. Itulah jaminan yang tidak akan meleset, maka FUUI
ataupun umat Islam pada umumnya sebenarnya hanya bertugas saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran.
Adapun nasihat bahkan tuntutan justru dibalas hinaan, itu satu anugerah bahwa pengusung kesesatan yang sampai
melecehkan Islam ini sudah ditampakkan oleh Allah swt figur-figur dan sarang-sarangnya. Tinggal umat Islam ini
mampu memahami itu atau tidak. Ini salah satu ujian dalam menjalankan Islam, mau pilih yang membela Islam atau
justru pilih yang melecehkannya sambil memutar-mutar lidah dan berlindung di bawah jubah title, lembaga dan
sarangnya.

Dikutip dari buku: Ada Pemurtadan di IAIN, Penulis: Ustadz Hartono Ahmad Jaiz. Cetakan II 2005

Saturday 13 August 2011

'Manusia Kanibal' Sumanto Lebih Mulia dari Anda, bila Anda Enggan Sedekah


Siapa yang tak kenal Sumanto? Manusia seantero negeri ini pasti mengenal namanya. Beberapa tahun silam, publik digeberkan dengan berita tak lazim, pria warga Purbolinggo ini memiliki kebiasaan memakan mayat.

Di balik kesan angker, sadis dan menjijikkan yang disandangnya, ternyata ‘si manusia kanibal’ Sumanto memiliki akhlak mulia: gemar bersedekah. Jika kita yang manusia normal ini pelit dan enggan bersedekah, maka kesalihan kita tak lebih baik dari Sumanto. Na’udzubillah min dzalik.

Di bulan puasa Ramadhan, Sumanto, selalu kebanjiran rezeki. Ia sering diundang menjadi bintang tamu bersama Haji Supono Mustajab, pemilik Pesantren sekaligus Balai pengobatan: Wisma Rehabilitasi Mental dan Narkoba di Purbalingga.

Meski hanya duduk di panggung mendampingi Ustadz Supono yang memberikan ceramah agama, masyarakat selalu datang karena penasaran dengan Sumanto. “Kalau ada Sumanto, pengajiannya selalu ramai,” kata Supono, Rabu (10/8/2011).

Tak bisa dipungkiri, kehadiran Sumanto dalam pengajian yang diasuh Ustadz Supono, adalah magnet tersendiri bagi jamaah. Mereka sangat antusias dan penasaran ingin melihat secara langsung sosok Sumanto, si manusia pemakan mayat yang kini sudah bertaubat.

....Sumanto rela memberikan rezekinya itu untuk disumbangkan kepada pengemis dan pengamen...

Menurut Ustadz Supono, sekali pengajian infak yang bisa dikumpulkan melejit mencapai Rp 9 juta. Dari infak tersebut, Sumanto tentu mendapatkan bagian berupa honor.

Uniknya Sumanto rela memberikan rezekinya itu untuk disumbangkan kepada pengemis dan pengamen. Namun Supono tidak memerinci berapa banyak sumbangan yang diberikan Sumanto untuk bersedekah itu.

So, jangan kalah sama Sumanto. Melalui momen bulan Ramadhan ini, mari kita suburkan motivasi berinfak dalam keadaan lapang maupun sempit. Ingatlah akan keutamaan sedekah: penolak bala, penyubur pahala, dan melipatgandakan rezeki; bagai sebutir benih yang ditanam akan menghasilkan tujuh cabang, yang pada tiap-tiap cabang itu terjurai seratus biji. [taz/tin]