Website Para Ustadz

Kumpulan website resmi para ustadz-ustadz terpercaya, Insha Allah.

Googling atau Yufiding?

www.yufid.com adalah islamic search engine, atau mesin pencari ilmu-ilmu islam.

Sunnah Witir diluar Ramadan

“Wahai orang-orang yang cinta kepada Al-Qur’an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) yang ganjil.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah)

7 Orang Sukses Kuliah sambil Ngaji

Sukses Dunia Akhirat, Why Not?

Waktu-Waktu Terkabulnya Do'a

Jika bekerja pun ada waktu-waktu yang tepat,begitu pula dengan Do'a

Saturday 31 December 2011

10 Kerusakan Dalam Perayaan Tahun Baru


Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun.

Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.

Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.

Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi.

Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:

Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:

Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:

Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-

Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]

An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni.

Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).

Beliau bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.

Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan.

Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”

Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud lantas berkata,

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru

Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).

Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.

Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah.

Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.

Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya.

Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir.

Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia meny

Thursday 29 December 2011

Bolehkah Perempuan Melamar Lelaki?


Dalam beberapa hal syariat Islam memberi hak yang sama antara perempuan dengan lelaki. Dalam hal berbuat kebaikan (amal saleh) Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) tidak membedakan, apakah pelakunya lelaki atau perempuan, akan diganjar dengan pahala yang sama. Allah SWT menegaskan:
”Barangsiapa yang mengerjakan amal–amal saleh, baik lelaki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (An-Nisaa [4]: 124)

Berikhtiar untuk mendapatkan jodoh merupakan amal saleh, sebagaimana juga menikah merupakan perbuatan yang amat terpuji. Dalam hal ini, tidak ada halangan bagi kaum perempuan untuk melamar lelaki, sebagaimana lelaki tidak ada larangan untuk melamar perempuan yang dicintainya. Syariat Islam memberi hak yang sama antara lelaki dan perempuan.

Kalau boleh disebut halangan, satu-satunya halangan perempuan melamar lelaki idamannya adalah “gengsi” atau “harga diri”. Bagi sebagian orang yang konon katanya menjunjung tinggi nilai dan adat ketimuran, perbuatan ini dianggap “aib” atau menyalahi adat. Aib itu tidak saja disandang oleh perempuan sebagai individu, tapi juga bagi keluarganya. Inilah penghalang utama dan satu-satunya bagi perempuan yang hendak melamar lelaki.

Bagi kami, mengapa para perempuan banyak menuntut emansipasi dan persamaan hak di segala bidang, tapi setelah diberi kesempatan dan hak yang sama dalam hal “melamar” justru dihindari? Mengapa untuk sebuah kebaikan dan kemaslahatan hidup dapat dikalahkan oleh gengsi? Persoalannya kembali kepada masing-masing individu, apakah ia lebih mengutamakan gengsi atau kebahagiaan hidup yang sejati?

Adalah Khadijah binti Khuwailid, perempuan yang tidak ragu-ragu untuk melakukan hal tersebut. Beliau adalah perempuan yang cantik, kaya, dan terhormat. Beliau menepis gengsinya demi untuk mempersunting lelaki yang di matanya terdapat tanda-tanda kemuliaan dan kematangan pribadi. Lelaki itu tidak lain adalah Muhammad Shallallahu’alaihi wa salam (SWA). Khadijah sangat terpikat dengan kemuliaan akhlak dan budi pekertinya.

Nafisah binti Munabih menangkap kegalauan dan kebimbangan Khadijah, teman dekatnya. Ia pun memberanikan diri untuk diutus menemui orang yang sangat dicintainya. Setelah sepakat, berangkatlah Nafisah menemui Muhammad Al-Amin.

Singkat cerita, Muhammad menerima lamaran itu dan kemudian mereka menikah. Dari kisah ini kita bisa mengambil ibrah bahwa gengsi dan harga diri itu bisa ditepis atau dikesampingkan. Justru yang harus dipegang teguh adalah syariat. Jika syariat tidak menghalangi, mengapa harus gengsi? Apalah artinya menjaga gengsi dan harga diri jika taruhannya justru neraka? Memang gengsi dan harga diri itu perlu, tapi tetap harus diposisikan pada tempatnya.
http://majalah.hidayatullah.com

Wednesday 28 December 2011

Hukum Memperingati ‘Hari Ibu’


Oleh: Asy-Syaikh Muhammadn bin Sholih Al-’Utsaimin

Dengan semakin gencarnya iklan-iklan yang menyerukan peringatan hari ibu di negeri ini (Kuwait), maka sebagai realitas dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam

الدين النصيحة, قلنا: لمن؟ قال: “لله, ولكتابه, ولرسوله, ولأئمة المسلمين, وعامتهم” (رواه مسلم).

“Agama adalah nasehat”. Kami bertanya:’Bagi siapa?’, Rasul bersabda:”Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan umumnya mereka” (HR. Muslim).

Berikut kami nukilkan fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkenaan dengan peringatan hari ibu.

Soal: Apa hukum memperingati hari ibu?

Jawab: Sesugguhnya setiap hari raya yang menyelisihi hari raya syar’I adalah bid’ah semuanya, tidak dikelnal dimasa salafus sholih. Bahkan bisa jadi, hari raya itu berasal dari non muslim yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan tasyabuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hari raya syar’I yang dikenal umat Islam adalah; Idul Fithri, Adul Adhah dan Ied dalam sepekan yaitu hari Jum’at. Di dalam Islam tidak ada hari raya kecuali hanya tiga, semua perayaan yang ada selain yang tiga ini adalah tertolak dan bathil menurut syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

”Barangsiapa yang mengadakan perkara-perkara yang baru dalam urusanku ini (Islam) yang tidak bersumber darinya, maka amalan tersebut akan tertolak”.

Dalam riwayat lain berbunyi:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari urusanku (Islam), maka amalan tersebut tertolak”.

Bila hal itu dijelaskan, maka perayaan hari ibu tidak diperbolehkan. Tidak boleh mengadakan simbol-simbol perayaan seperti kegembiraan, kebahagiaan, penyerahan hadiah dan lain sebagainya. Seorang muslim wajib memuliakan agamanya dan bangga dengannya dan hendaknya membatasi diri dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus yang telah diridloi Allah Ta’ala untuk hamba-Nya, tidak ditambah maupun dikurangi.

Seorang muslim seharusnya tidak ikut-ikutan, mengikuti setiap bunyi burung gagak. Tetapi haruslah membentuk kepribadiannya sesuai dengan ketentuan syari’at Allah Azza wa Jalla, sehingga menjadi ikutan, bukan sekedar menjadi pengikut, menjadi contoh bukan yang mencontoh. Karena syari’at Allah –alhamdulillah- adalah sempurna dilihat dari sisi manapun, sebagiaman firman Allah:

…الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (3) سورة المائدة

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3).

Haknya seorang ibu lebih besar daripada sekedar disambut sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu mempunyai hak yang harus dilakukan oleh anak-anaknya, yaitu memelihara dan memperhatikannya serta menta’atinya dalam hal-hal yang tidak maksiat kepada Allah Azza wa Jalla disetiap waktu dan tempat.

Dinukil dari Majmu’ Fatawa, 2/300-301 soal no. 353.

Thursday 22 December 2011

Lupa Mengerjakan Sholat



Jika engkau ketiduran atau lupa sehingga luput dari waktu shalat maka hendaklah engkau shalat ketika engkau terbangun dari tidur atau ketika ingat, walaupun itu adalah saat terbit atau tenggelamnya matahari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

“Barang siapa yang tertidur –sehingga luput dari shalat–atau dalam keadaan lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat dan tidak ada kafarah (tebusan) selain itu.” (Hr. Bukhari dan Muslim )

Adapun jika engkau meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja, dengan mengetahui akan wajibnya lalu engkau luput dari shalat tersebut, maka pendapat ulama yang paling tepat adalah bahwa perbuatan seperti itu termasuk kekufuran, yaitu kufur akbar. Shalat yang ditinggalkan dengan sengaja seperti ini sama sekali tidak memiliki qadha’ (tidak perlu diganti). Kewajibanmu adalah bertobat, beristighfar, menyesali yang telah lalu, dan engkau harus menjaga kembali shalat lima waktu, dikerjakan tepat pada waktunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan lain-lain, dari hadis Buraidah,

العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian di antara kami (kaum muslimin) dengan mereka (orang kafir) adalah mengenai perkara shalat. Barang siapa yang meninggalkannya maka ia kafir.”

Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Jabir,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Pembeda di antara seorang muslim dan antara kekufuran dan kesyirikan adalah mengenai meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Yang menandatangani fatwa ini:
Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syekh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syekh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota.

Sumber: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan pertama dari fatwa nomor 6196, 6/10.
Diterjemahkan oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Saturday 10 December 2011

Muslim yang Turut Berlaga di Piala Dunia 2010

Anda mengidolakan pemain sepakbola? Boleh saja selama hal itu tidak sampai menodai akidah. Seperti kita ketahui bersama bahwa mayoritas bintang sepakbola yang berlaga di Piala Dunia 2010 adalah orang-orang non-muslim. Mengidolakan bintang sepakbola non-muslim dikhawatirkan akan membuat kita terjebak pada pengkultusan dan penodaan agama. Karena itulah, berikut ini kami tampilkan profil pesepakbola muslim yang akan berlaga di Piala Dunia 2010. Bagi penggila bola, tentu sudah hafal dengan sepak terjang mereka di lapangan hijau. Namun demikian, tidak semua tahu bahwa mereka adalah saudara kita yang seiman.

Khalid Boulahrouz:
The Cannibal

Bila Anda adalah penggemar Liga Jerman, pasti kenal dengan pria kelahiran Maassluis (Belanda) pada 28 Desember 1981 ini. Ya, dia adalah Khalid Boulahrouz, seorang pria Belanda keturunan Maroko. Pria yang berperawakan garang ini kini menjadi salah satu andalan tim nasional Belanda. Banyak klub telah dibelanya, di antaranya Chelsea yang telah membesarkan namanya di kancah sepakbola internasional.

Saat ini, Boulahrouz bermain di klub elit Bundesliga Jerman VfB Stuttgart dan dikenal degan sebutan “Khalid the Cannibal” karena kemampuannya ‘memakan’ lawan. Julukan yang seram di lapangan tersebut, ternyata tidak terbawa dalam pergaulan sehari-harinya yang terkesan lembut dan sangat taat pada agamanya. Dalam sebuah wawancara dengan harian De Volkskrant beberapa waktu lalu, Boulahrouz menyebutkan pengaruh Islam dalam dirinya. “Mengaji Al-Quran memberi saya kedamaian dan membuang stress yang ada. Kesabaran sangat penting di situasi yang penuh dengan tekanan dan Islam mengajarkan bagaimana seharusnya kita bersikap sabar,” ujar suami dari Sabia ini. Saat ini, Boulahrouz tengah mengembangkan pengetahuan tentang Islam. Ia rajin shalat lima waktu dan mengaji Al-Quran. “Saya belajar bahasa Arab agar bisa lebih mengerti ajaran Islam,” pungkasnya.

Eric Bilal Abidal:
Islam Adalah Sumber Inspirasi

Germelap kompetisi La Liga Spanyol yang penuh dengan hedonisme, konsumerisme, dan kemewahan lainnya, ternyata tidak mempengaruhi keimanan salah satu pilar klub elit Spanyol FC Barcelona ini. Dengan keterbatasan waktu dan atmosfir kehidupan yang sangat glamor, ia tetap bisa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Siapakah dia? Dia adalah Eric Abidal, putra kelahiran Lyon (Prancis) pada 11 September 1979. Abidal yang sebelumnya beragama Katolik kemudian pindah agama setelah menikah dengan Hayet Abidal, seorang perempuan asal Aljazair.

Kepada majalah Match yang terbit di Paris, Abidal mengatakan bahwa Islam telah mendorongnya untuk bekerja keras untuk memperkuat timnya. “Saya memeluk Islam dengan keyakinan penuh. Semua berlangsung alami. Pilihan memeluk agama Islam bukan karena faktor istriku, tapi sebuah hadiah yang tiba-tiba saja muncul. Itu benar-benar terjadi apa adanya. Mengalir begitu saja dan membuatku merasa bahagia,” ujar ayah dari Meliana dan Canelia ini. Sejak masuk Islam, Abidal yang biasa bermain di posisi sayap kiri ini berusaha menjadi muslim yang taat dengan tidak pernah melupakan shalat.

Kolo Habib Toure:
Ustadz yang Pandai Bermain Bola

Bek pekerja keras asal Pantai Gading yang bermain untuk klub kuda hitam di Premiere League Manchester City, Kolo Toure, resmi menjadi pemain inti tim nasional Pantai Gading bersama dengan adiknya, Yaya Toure. Mereka akan bergabung dengan Didier Drogba cs dalam menghadapi putaran final Piala Dunia yang akan dilaksanakan di Afrika Selatan pada Juni 2010. Terpilihnya Kolo Toure menjadi pemain inti merupakan berkah kerja kerasnya berlatih dan bermain dengan Manchester City.

Sikapnya yang low-profile, membuat banyak orang menyukai tindak tanduknya. Selain itu, Toure termasuk muslim yang taat. Terbukti, dia sering melakukan dakwah dan mengajar mengaji murid-muridnya di masjid London. Selain itu, pemain kelahiran Pantai Gading, 19 Maret 1981 ini rajin shaum walaupun sedang bertanding. Sebelum bergabung di Manchester City (klub terkaya di Inggris milik billioner asal Uni Emirat Arab, Syaikh Al-Mansoor), Toure merupakan pemain The Gunner Arsenal yang bermarkas di London. Saat bermain dengan Arsenal itulah, di waktu senggang ia berdakwah dan mengajarkan agama Islam pada anak-anak muslim di sana bersama sang adik (Yaya Toure) yang juga beragama Islam. Meskipun sekarang telah pindah ke Manchester, Toure tetap tidak melupakan anak-anak asuhnya. Dengan mengedarai mobil, di sela-sela kesibukannya bermain membela Manchester City, ia tetap meluangkan waktu untuk membagi ilmunya. Sebuah kepedulian yang patut dicontohkan oleh setiap muslim, bukan?

Sulley Ali Muntari:
Bersujud Setelah Mencetak Gol

Sulley Ali Muntari, lahir di Kongo (Ghana) pada 27 Agustus 1984. Sebagai pesepakbola handal, ia diberkahi talenta yang luar biasa yang membuat kepincut banyak klub di Eropa. Dari sekian banyak klub Eropa yang meminang, hanya Inter Milan yang membuat hatinya luluh. Ia mengagumi sosok pelatih Inter Milan, Jose Mourinho. Muntari pun langsung menjadi anak asuh kesayangan Mourinho.

Muntari menjadi pusat perhatian ketika dia merayakan gol layaknya muslim sejati. Ketika Inter Milan mengalahkan Juventus 1-0 di ajang Seri A lewat gol yang dicetaknya, Muntari langsung bersujud, menyentuhkan dahinya ke lapangan sebagai ucapan terima kasih kepada Allah Swt. Hal tersebut sama sekali tidak mendapat komplain dari tifosi (pendukung) garis keras Inter dan rekan satu timnya. Kebebasan menjalankan ibadah bagi Muntari adalah segalanya dan hal itu dihormati oleh manajemen Inter. Tidak heran jika kemudian Muntari mendapatkan sambutan positif dari muslim Italia setelah merayakan golnya dengan bersujud. Untuk memperlihatkan identitasnya sebagai seorang muslim, Muntari tetap keukeuh berpuasa meski harus memperkuat Inter Milan Nerazzurri.

Robin van Persie:
Goal-Getter Asal Arsenal


Robin Van Persie lahir di Rotterdam (Belanda) pada 6 Agustus 1983. Ia terlahir dari keluarga broken-home. Setelah orangtuanya bercerai, van Persie dibesarkan oleh ayahnya yang merupakan seorang seniman. Semasa kanak-kanak, van Persie kerap berulah dan mengalami masalah temperamen yang mengakibatkannya sering dikeluarkan dari kelas. Namun di balik sifat tempramennya, ternyata van Persie mempunyai bakat sepakbloa yang hebat. Ia pun dikenalkan oleh ayahnya ke klub sepak bola amatir Belanda SBV Excelsior. Di tahun ini, van Persie berhasil membawa Belanda lolos kualifikasi Piala Dunia di Afrika Selatan.

Di Arsenal, ia menemukan Islam sebagai agamanya setelah menikah dengan Bauchra, perempuan kelahiran Maroko. Kini ia telah dikaruniai seorang anak.

Franck Ribery:
“Islam Menjadi Sumber Kekuatan Saat Bermain”

Ada gunjingan menarik saat pembukaan Piala Dunia 2006. Franck Ribery yang saat itu memperkuat Tim Nasional Prancis berdoa dengan menengadahkan tangan seperti yang biasanya dilakukan seorang muslim. Banyak di antara penggemarnya yang menyayangkan hal tersebut. Ribery sendiri tidak menyangka bahwa yang dilakukannya (berdoa) akan dinilai negatif oleh sebagian orang. Bagi Ribery, kepercayaan dan keimanan barunya tersebut merupakan persoalan pribadi, bukan untuk konsumsi publik. Oleh sebab itu, ia selalu menolak ketika wawancara sudah mengarah pada persoalan keimanan. Ia bahkan pernah dengan agak keras memperingatkan para wartawan untuk tidak mempertanyakan hal-hal yang bersifat pribadi.

Siapakah sebenarnya Franck Ribery? Ia adalah seorang mualaf yang lahir pada tanggal 1 April 1983. Ribery menjadi mualaf setelah menikahi istrinya (Wahiba Belhami) yang berasal dari Maroko. Hizya adalah putri kecil buah pernikahan mereka berdua.
Ribery mengaku bahwa Islam adalah sumber kekuatannya, baik di dalam atau pun di luar lapangan bola. Ia telah menghadapi masa-masa sulit dalam membangun karier dan mencari kedamain jiwa. Dan akhirnya ia menemukan Islam sebagai jalan bagi kedamaian jiwanya. [Ali]
(majalahpercikaniman.blogspot.com)

Monday 5 December 2011

Hijrah Nabi dan Menetap di Madinah

BEBERAPA PERISTIWA PENTING
Pertama
Tersebarnya berita tentang masuk Islamnya sekelompok penduduk Yatsrib (Madinah), membuat orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan terhadap orang-orang Mukmin di Makkah.
Lalu Nabi saw. memerintahkan kaum Mukminin agar hijrah ke kota Madinah. Para sahabat segera berangkat menuju Madinah secara diam-diam, agar tidak dihadang oleh musuh. Namun Umar bin Khattab justru mengumumkan terlebih dahulu rencananya untuk berangkat ke pengungsian kepada orang-orang kafir Makkah. Ia berseru, “Siapa di antara kalian yang bersedia berpisah dengan ibunya, silakan hadang aku besok di lembah anu, besuk pagi saya akan hijrah.” Tidak seorang pun berani menghadang Umar.
Kedua
Setelah mengetahui kaum Muslimin yang hijrah ke Madinah itu disambut baik dan menda¬pat penghormatan yang memuaskan dari penduduk Yatsib, bermusyawarahlah kaum kafir Quraisy di Darun Nadwah. Mereka merumuskan cara yang diambil untuk membunuh Rasululah saw. yang diketahui belum berangkat bersama rombongan para sahabat. Rapat memutuskan untuk mengumpulkan seorang algojo dari setiap kabilah guna membunuh Nabi saw. bersama-sama. Pertimbangannya ialah, keluarga besar Nabi (Bani Manaf) tidak akan berani berperang melawan semua suku yang telah mengu¬tus algojonya masing-masing. Kelak satu-satunya pilihan yang mungkin ambil oleh Bani Manaf ialah rela menerima diat (denda pembunuhan) atas terbunuhnya Nabi. Keputusan bersama ini segera dilaksanakan dan para algojo telah berkumpul di sekeliling rumah Nabi saw. Mere¬ka mendapat instruksi: “Keluarkan Muhammad dan rumahnya dan langsung pengal tengkuknya dengan pedangmu!”
Ketiga
Pada malam pengepungan itu Nabi saw. tidak tidur. Kepada keponakannya, Ali r.a., beliau meme¬rintahkan dua hal: pertama, agar tidur (berbaring) di tempat tidur Nabi dan, kedua, menyerahkan kembali semua harta titipan penduduk Makkah yang ada di tangan Rasulullah saw. kepada para pemiliknya.
Nabi keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh satu orang pun dari para algojo yang mengepung rumahnya sejak senja hari. Nabi saw. pergi menuju rumah Abu Bakar yang sudah menyiapkan dua tunggangan (kendaraan) lalu segera berangkat. Abu Bakar menyewa Abdullah bin Uraiqith Ad-Daily untuk menunjukkan jalan yang tidak biasa menuju Madinah.
Keempat
Rasulullah dan Abu Bakar berangkat pada hari Kamis tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun kelima puluh tiga dari kelahiran Nabi saw. Hanya Ali dan keluarga Abu Bakar saja yang tahu keberangkatan Nabi saw. dan Abu Bakar malam itu menuju Yatsib. Sebelumnya dua anak Abu Bakar, Aisyah dan Asma, telah menyiapkan bekal secukupnya untuk perjalanan itu. Kemudian Nabi saw. ditemani Abu Bakar berangkat bersama penunjuk jalan menelusuri jalan Madinah-Yaman hingga sampai di Gua Tsur. Nabi dan Abu Bakar berhenti di situ dan penunjuk jalan disuruh kembali secepatniya guna menyampaikan pesan rahasia Abu Bakar kepada putranya, Abdullah.
Tiga malam lamanya Nabi saw. dan Abu Bakar bersembunyi di gua itu. Setiap malam mereka ditemani oleh Abdullah bin Abu Bakar yang ber¬tindak sebagai pengamat situasi dan pemberi informasi.
Kelima
Lolosnya Nabi saw. dari kepungan yang ketat itu membuat kalangan Quraisy hiruk pikuk mencari. Jalan Makkah-Madinah dilacak. Tetapi mereka gagal menemukan Nabi saw. Kemudian mereka menelusuri jalan Yaman-Madinah. Mereka menduga Nabi pasti bersembunyi di Gua Tsur. Setibanya tim pelacak itu di sana, alangkah bingungnya mereka ketika melihat mulut gua itu tertutup jaring laba-laba dan sarang bunung. Itu pertanda tidak ada orang yang masuk ke dalam gua itu. Mereka tidak dapat melihat apa yang ada dalam gua, tetapi orang yang di dalamnya dapat melihat jelas rom¬bongan yang berada di luar. Waktu itulah Abu Bakar merasa sangat khawatir akan keselamatan Nabi. Nabi berkata kepadanya, “Hai Abu Bakar, kita ini berdua dan Allah-lah yang ketiganya.”
Keenam
Kalangan kafir Quraisy mengumumkan kepada seluruh kabilah, “Siapa saja yang dapat menyerah¬kant Muhammad dan kawannya (Abu Bakar) kepada kami hidup atau mati, maka kepadanya akan diberikan hadiah yang bernilai besar.” Bangkitlah Suraqah bin Ja’syam mencari dan mengejar Nabi dengan harapan akan menjadi hartawan dalam waktu singkat.
Sungguhpun jarak antara Gua Tsur dengan rombongan Nabi sudah begitu jauh, namun Suraqah ternyata dapat menyusulnya. Tatkala sudah begitu dekat, tiba-tiba tersungkurlah kuda yang ditunggangi Suraqah, sementara pedang yang telah diayunkan ke arah Nabi tetap terhunus di tangannya. Tiga kali ia mengibaskan pedangnya ke arah tubuh Nabi, tetapi pada detik-detik itu pula kudanya tiga kali tersung¬kur sehingga tak terlaksanalah maksud jahatnya. Kemudian ia menyarungkan pedangnya dalam keadaan diliputi perasaan kagum dan yakin, dia benar-benar berhadapan dengan seorang Nabi yang menjadi Rasul Allah. Ia mohon kepada Nabi agar berkenan menolong mengangkat kudanya yang tak dapat bangun karena kakinya terperosok ke dalam pasir. Setelah ditolong oleh Nabi, ia memin¬ta agar Nabi berjanji akan memberinya hadiah berupa gelang kebesaran raja-raja. Nabi menjawab, “Baiklah.”
Kemudian kembalilah Suraqah ke Makkah dengan berpura-pura tak menemukan seseorang dan tak pernah mengalami kejadian apa pun.
Ketujuh
Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Kedatangan beliau telah dinanti-nantikan masyarakat Madinah. Pagi hari me¬reka berkerumun di jalanan, setelah tengah hari barulah mereka bubar. Begitulah penantian mereka beberapa hari sebelum kedatangan Nabi. Pada hari kedatangan Nabi dan Abu Bakar, masyarakat Madi¬nah sudah menunggu berjubel di jalan yang akan dilalui Nabi lengkap dengan regu genderang. Mereka mengelu-elukan Nabi dan genderang pun gemuruh diselingi nyanyian yang se¬ngaja digubah untuk keperluan penyambutan itu: “Bulan purnama telah muncul di tengah-tengah kita, dari celah-celah bebukitan. Wajiblah kita bersyukur, atas ajakannya kepada Allah. Wahai orang yang dibangkitkan untuk kami, kau datang membawa sesuatu yang ditaati.”
Kedelapan
Di tengah perjalanan menuju Madinah, Rasu¬lullah singgah di Quba’, sebuah desa yang terletak dua mil di selatan Madmnah. Di sana Beliau membangun sebuah Masjid dan merupakan Masjid pertama dalam sejarah Islam. Beliau singgah di sana selama empat hari untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Madinah. Pada Jum’at pagi beliau berangkat dari Quba’ dan tiba di perkampungan Bani Salim bin Auf persis pada waktu shalat Jum’at. Lalu shalatlah beliau di sana. Inilah Jum’at pertama dalam Islam, dan karena itu khutbahnya pun merupakan khutbah yang petama.
Kemudian Nabi berangkat meninggalkan Bani Salim. Program pertama beliau sesampainya di Madi¬nah ialah menentukan tempat di mana akan dibangun Masjid. Tempat itu ialah tempat di mana untanya berhenti setibanya di Madinah. Ternyata tanah yang dimaksud milik dua orang anak yatim. Untuk itu Nabi minta supaya keduanya sudi menjual tanah miliknya, namun mereka lebih suka menghadiah¬kannya. Tetapi beliau tetap ingin membayar harga tanah itu sebesar sepuluh dinar. Dengan senang hati Abu Bakar menyerahkan uang kepada mereka berdua.
Pembangunan Masjid segera dimulai dan seluruh kaum Muslimin ikut ambil bagman, sehingga berdiri sebuah Masjid berdinding bata, berkayu batang korma dan beratap daun korma.
Kesembilan
Kemudian Nabi mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dengan Anshar. Setiap orang Anshar mengakui orang Muhajirin sebagai saudara¬nya sendiri, mempersilakannya tinggal di rumah¬nya dan memanfaatkan segala fasilitasnya yang ada di rumah bersangkutan.
Kesepuluh
Selanjutnya Nabi saw. merumuskan piagam yang berlaku bagi seluruh kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi. Piagam inilah yang oleh Ibnu Hisyam disebut sebagai undang-undang dasar negara dan pemerintahan Islam yang pertama. Isinya mencakup tentang perikemanusiaan, keadilan sosial, toleransi beragama, gotong royong untuk kebaikan masyarakat, dan lain-lain. Saripatinya adalah sebagai berikut:
Kesatuan umat Islam, tanpa mengenal perbe¬daan.
Persamaan hak dan kewajiban.
Gotong royong dalam segala hal yang tidak ter¬masuk kezaliman, dosa, dan permusuhan.
Kompak dalam menentukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi umat.
Membangun suatu masyarakat dalam suatu sis¬tern yang sebaik-baiknya, selurusnya dan sekokoh-kokohnya.
Melawan orang-orang yang memusuhi negara dan membangkang, tanpa boleh memberikan bantuan kepada mereka.
Melindungi setiap orang yang ingin hidup ber¬dampingan dengan kaum Muslimin dan tidak boleh berbuat zalim atau aniaya terhadapnya.
Umat yang di luar Islam bebas melaksanakan agamanya. Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta bendanya.
Umat yang di luar Islam harus ambil bagian dalam membiayai negara, sebagaimana umat Islam sendiri.
Umat non Muslim harus membantu dan ikut memikul biaya negara dalam keadaan terancam.
Umat yang di luar Islam, harus saling membantu dengan umat Islam dalam melindungi negara dan ancaman musuh.
Negara melindungi semua warga negara, baik yang Muslim maupun bukan Muslim.
Umat Islam dan bukan Islam tidak boleh melin¬dungi musuh negara dan orang-orang yang membantu musuh negara itu.
Apabila suatu perdamaian akan membawa keba¬ikan bagi masyarakat, maka semua warga negara baik Muslim maupun bukan Muslim, harus rela menerima perdamaian.
Seorang warga negara tidak dapat dihukum karena kesalahan orang lain. Hukuman yang mengenai seseorang yang dimaksud, hanya boleh dikenakan kepada diri pelaku sendiri dan keluarganya.
Warga negara bebas keluar masuk wilayah ne¬gara sejauh tidak merugikan negara.
Setiap warga negara tidak boleh melindungi orang yang berbuat salah atau berbuat zalim.
Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan, tidak atas dosa dan permusuhan.
Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuat¬an. Kekuatan spiritual yang meliputi keimanan seluruh anggota masyarakat kepada Allah, kei¬manan akan pengawasan dan penlindungan-Nya bagi orang yang baik dan konsekuen, dan Kekuatan material yaitu kepemimpinan negara yang ter¬cerminkan oleh Nabi Muhammad saw.
BEBERAPA PELAJARAN
Pertama
Seorang yang Mukmin yang percaya akan kemampuannya tentu tidak akan sembunyi-sem¬bunyi beramal. Sebaliknya ia berterus terang tanpa gentar sedikitpun terhadap musuh, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab sewaktu dia akan hijrah. Dalam kasus ini ada pelajaran, keberanian bisa membuat musuh merasa ngeri dan gentar. Seandainya orang-orang kafir Quraisy sepakat untuk membunuh Umar, tentulah mereka mampu melaku¬kan itu. Akan tetapi sikap Umar yang berani itulah yang membuat gentarnya kafir Quraisy, dan memang onang-orang jahat selalu merasa takut kehi¬langan hidup (nyawa).
Kedua
Ketika ajakan ke arah kebenaran dan perbaikan sudah dapat dibendung, apalagi pendukung-pendu¬kungnya sudah dapat menyelamatkan diri, tentulah orang-orang jahat berpikir untuk membunuh pemim¬pin dakwah itu. Mereka memperkirakan dengan terbunuhnya sang pemimpin, tamatlah riwayat dakwah yang dilakukannya. Pemikiran semacam ini selalu ada dalam benak orang-orang yang memusuhi kebaikan dari zaman dulu sampai sekarang.
Ketiga
Prajurit yang sungguh-sungguh ikhlas untuk menyerukan kebaikan tentulah bersedia menyela¬matkan pemimpinnya sekalipun dengan mengor¬bankan jiwanya sendiri. Sebab, selamatnya pemimpin berarti selamatnya dakwah. Apa yang telah dilakukan oleh Ali yang tidur di tempat Nabi merupakan pe¬ngorbanan jiwa raga guna menyelamatkan diri Nabi.
Pada malam itu sangat besar kemungkinan Ali terbunuh karena algojo-algojo yang melaku¬kan pengepungan itu tentu akan menduga Ali itulah Nabi. Akan tetapi hal itu tidak merisaukan diri Ali sama sekali. Seba, ia lebih mementingkan keselamatan Nabi Muhammad saw.
Keempat
Dititipkannya harta benda milik orang-orang Musyrik kepada Nabi saw. sementara mereka sendiri memusuhi dan berambisi untuk membunuh Nabi, adalah menunjukkan kepercayaan mereka akan kelurusan dan kesucian pribadi Nabi. Mereka juga mengerti benar bahwa Nabi jauh lebih hebat dan lebih bersih hatinya daripada diri mereka sendiri. Hanya kebodohan, ketidaktahuan, dan keterikatan mereka pada tradisi dan kepercayaan yang salah sajalah yang membuat mereka memusuhi, menghalangi dakwah Nabi, dan berusaha membunuh Nabi.
Kelima
Berpikirnya seorang pemimpin dakwah, kepala negara, atau pemimpin suatu pergerakan untuk menyelamatkan diri dari ancaman musuh, sehingga ia mengambil jalan lain, tidaklah dapat dianggap sebagai tindakan penakut atau tidak berkorban jiwa.
Keenam
Adanya partisipasi Abdullah bin Abu Bakar dalam penencanaan dan pelaksanaan hijrah Nabi, menunjukkan adanya peranan genenasi muda dalam mensukseskan dakwah. Mereka merupakan penun¬jang yang dapat diandalkan bagi mempercepat proses kesuksesan.
Pejuang-pejuang Islam yang pertama dahulu seluruhnya terdiri dari para pemuda. Rasulullah saw. berumur empat puluh tahun ketika dibangkitkan menjadi Nabi. Abu Bakar berumur tiga puluh tahun, semen¬tara Ali paling muda di antara mereka. Demikian pula Utsman, Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, Arqam bin Abu Arqam, Sa’id bin Zaid, Bilal bin Rabah, Amman bin Yasir, dan lain-lain, seluruhnya adalah para pemuda. Mereka sanggup memikul tanggung jawab dakwah dengan segala pengorbanan dan berbagai macam derita. Dan mereka mampu memenangkan Islam. Dengan kesungguhan¬nya beserta kaum Muslimin lainnya, berdirilah negara Islam, ditahlukkanlah berbagai negeri, dan sampailah Islam ke tangan generasi berikutnya, hingga kini.
Ketujuh
Partisipasi Aisyah dan Asma binti Abu Bakar dalam pelaksanaan hijrah Nabi saw. mengisyaratkan bahwa kaum wanita bukannya tidak diperlukan dalam suatu perjuangan. Kaum hawa yang berperasaan halus itu pun diberi kepercayaan. Mereka banyak sekali membantu sang suami mengurusi anak-anak dan keluarga.
Dalam pada itu perjuangan kaum wanita di zaman Rasulullah dahulu mengesankan kita sekarang, suatu gerakan Islamiyah akan berjalan seret dan kurang membekas di kalangan masyarakat manakala kaum wanita belum ikut ambil peranan. Bila sudah, maka itu berarti telah terben¬tuk suatu generasi wanita atas dasar keimanan, akhlak mulia, kesabaran, dan kesucian. Mereka akan lebih mudah menyebarkan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan oleh dunia dewasini ke dalam masyarnakatnya sesama kaum wanita, ketimbang kaum pria. Tetapi hal ini tidak berarti mereka boleh untuk tidak menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang baik.
Dalam rangka mendidik generasi muda, pada zaman Nabi, kaum wanita telah memberikan sumbangan yang tinggi nilainya. Merekalah yang banyak berbuat untuk menumbuhkan suatu generasi penerus yang berakhlak Islam, mencintal Islam, dan Rasulnya serta berjuang untuk Islam. Untuk ini dapatlah dikatakan, kaum wanita itu lebih berhasil membentuk sebaik-baik generasi penerus perjuangan Islam.
Kini kita harus belajar dan sejarah di atas, harus berusaha membawa kaum wanita dan ibu-ibu, guna mencetak mereka menjadi perancang panji-panji Is¬lam di tengah-tengah masyarakat, mengingat kuan¬titasnya melebihi separuh penduduk dunia. Hal itu menuntut kita untuk mendidik putri-putri dan sau¬dari-saudari di lembaga-lembaga pendidikan Islam guna mempelajari berbagai ajanan Islam. Banyaknya jumlah mereka yang paham akan agama Islam, hukum, sejarah, dan ilmu lainnya, dan banyak mere¬ka yang berakhlak seperti akhlak Nabi saw. dan isteri-isterinya, tentulah akan dapat lebih cepat lagi memacu perbaikan yang berdasarkan ajaran Islam dan menciptakan masyarakat yang mentaati seluruh ketentuan Allah swt.
Kedelapan
Tidak terlihatnya Nabi Saw. oleh mata orang-¬orang yang mengejarnya di Gua Tsur, dan adanya sarang laba-laba serta sarang burung yang sedang bertelur seperti dalam kisah, kedua-duanya merupakan contoh adanya pertolongan Ilahi kepada Rasul-Nya dan para pembela agama-Nya. Allah swt. tidak membiarkan cita-cita dakwah gagal di tangan orang-orang musyrik. Allah swt. selalu memberi jalan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas dalam menegakkan risalahNya. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami pasti menolong Rasul-rasul Kami dan onang-onang yang beriman, di duniini dan di akhinat nanti.” (QS. Ghafir: 51).
Kesembilan
Kekhawatiran Abu Bakar r.a. kalau musuh meli¬hat mereka yang bersembunyi di dalam gua adalah menunjukkan betapa sayangnya sang pengawal kepada pimpinannya yang sedang terancam bahaya, melebihi rasa sayang terhadap dirinya sendiri. Sean¬dainya ia mementingkan diri sendiri, tentulah dia tidak bersedia menemani Rasulullah dalam suatu perjalanan yang penuh bahaya itu. Ia bukannya tidak tahu, jika Nabi saw. tertangkap dan dibunuh, maka dia pun akan dibunuh.
Kesepuluh
Jawaban Rasulullah yang bermaksud menenang¬kan Abu Bakar pada saat itu merupakan kata-kata yang menunjukan betapa yakin-Nya Nabi kepada Allah yang pasti menolong hamba-Nya dan betapa tulusnya beliau bertawakkal kepada-Nya. Dan meru¬pakan bukti nyata kebenaran dakwah kenabiannya. Betapapun beliau dalam keadaan sangat sulit dan terjepit, namun beliau yakin, Allah swt. tidak pernah melepaskannya sesaat pun, karena dirinya itu diutus¬Nya untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Di sinilah beda Nabi dengan orang yang se¬tengah-setengah dalam menyeru manusia ke jalan Allah, dan juga dengan orang yang berpura-pura.
Kesebelas
Apa yang telah terjadi atas diri Suraqah yang gagal total membunuh Nabi saw. juga merupakan bukti kenabian Nabi saw. Setiap kali Suraqah mengarahkan pedangnya ke arah tubuh Nabi, terjerembablah kudanya. Kaki kuda itu tenggelam ditelan pasir. Tapi jika diputar haluan, kembalilah kuda itu bangun dan berjalan seperti biasa. Bukankah ini pertolongan Allah swt. kepada Rasul-Nya? Ambisi Suraqah untuk memperoleh hadiah yang melimpah sebagaimana yang dijanjikan pemimpin-pemimpin kafir Qunaisy ternyata tidak dapat mengalahkan kekuasaan Allah yang menghendaki keselamatan Rasul-Nya. Oleh karena usahanya mengejar Nabi itu demi harta benda, maka ia pun merasa puas dengan janji Nabi untuk menghadiahkan sesuatu kepadanya.
Kedua belas
Janji Rasulullah akan menghadiahkan kepadanya pakaian kebesaran kaisar, setelah kegagalan Suraqah itu adalah juga suatu mukjizat yang dimiliki Nabi. Seorang manusia biasa yang sedang lari dan kepungan musuhnya tentulah tidak lagi sempat membayangkan dia akan mampu menaklukkan dan menampas mahkota raja. Tetapi karena beliau memang benar-benar seorang Nabi, masih segarlah dalam benaknya, pada akhirnya beliau akan dapat meraih mahkota raja-raja, dan apa yang dijanjikannya kepada Suraqah niscaya akan benar-¬benar terlaksana.
Dalam suatu peperangan yang dimenangkan oleh umat Islam berikut harta rampasan yang tertimbun, terlihatlah oleh Suraqah sepasang gelang raja. Lalu ia minta kepada Umar bin Khattab agar gelang itu diberikan kepadanya sebagai realisasi janji Rasulullah kepadanya dulu. Umar pun meme¬nuhi permintaan itu dengan disaksikan oleh sahabat¬-sahabat Nabi lainnya.
Ketiga belas
Kegembiraan peduduk Madinah atas keda¬tangan Rasulullah saw. merupakan kegembinaan yang sesungguhnya bagi kaum Muhajinin dan Anshar, tetapi semu bagi kaum Yahudi. Mereka turut bergembira di lahirnya, tapi dengki di dalam batin¬nya, karena orang yang mereka sambut itulah yang akan mengambil alih kepemimpinan dan kewibawa¬an yang selama itu ada di tangan mereka. Bagi orang-¬orang Yahudi Madinah, kedatangan Rasulullah itu akan membuat mereka tidak lagi bisa berbuat seenaknya terhadap jiwa dan harta benda rakyat.
Sungguhpun kedengkian dan keengganan tunduk untuk kepada hukum pada mulanya berhasil mere¬ka tutup-tutupi, namun akhirnya terbuka juga. Isi piagam persaudaraan yang telah mereka sepakati di hadapan Nabi dan kaum Muslimin dulu mulai diingkarinya satu persatu. Ini berarti mereka tidak rela dan tidak suka hidup damai. Memang mereka sejak dulu selalu ingin mengobarkan api peperangan. Akan tetapi api yang dikobarkannya itu akan selalu dapat dipadamkan, sebagaimana dijanjikan Allah swt. dalam firman-Nya, “Setiap kali meneka mengobankan api pepenangan, maka setiap kali itu pula Allah memadamkannya.” (Al-¬Maidah: 64)
Keempat belas
Dari peristiwa hijrah ke Madinah, nyatalah yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah ialah mem¬bangun Masjid. Selama empat hari bermalam di Quba’, Rasulullah saw. membangun Masjid Quba’. Selanjutnya beliau membangun sebuah Masjid di perkampungan Bani Salim, yang terletak antana Quba dan Madinah. Begitu pula di Madinah sendiri. Yang pertama kali dilakukan Nabi ialah membangun Masjid Madinah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Masjid dalam Islam.
Semua ibadat yang terdapat dalam Islam bertujuan untuk mensucikan jiwa, meningkatkan akhlak, memperkuat persaudaraan dan kegotong¬royongan antara sesama Muslim. Shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat dua hari raya adalah cen¬minan persaudaraan sosial, persatuan kata dan tuju¬an dengan demikian tidaklah teringkari lagi Masjid itu membawa misi sosial kemasyarakatan dan kerohaniaan yang sangat besar maknanya bagi masyarakat Islam.
Sejarah menyatakan dari Masjidlah tentara Islam berangkat untuk menyebarluaskan hidayah Allah (agama Islam) ke seluruh penjuru dunia. Dan di Masjidlah diolah dan dikembangkan kebudayaan Islam. Abu Bakar, Umar, Ali, Khalid, Said, Abu Ubadah dan para pembesar lainnya dalam sejarah Islam adalah tamatan madrasah Islamiyah yang berpusat di Masjid.
Hal lain yang perlu dicatat ialah Masjid meru¬pakan sarana pendidikan Islam yang bersifat masal dan pekanan. Setiap ekan (yaitu pada hari Jum’at) dicanangkan seruan untuk mengikis habis kemungkaran di samping perintah untuk menegak¬kan kebenaran dan keadilan. Dan dalam Masjid itu diberikan pula peringatan bagi orang yang lupa pada Islam, diserukan persatuan umat, diprotes segala bentuk kezaliman berikut pelaku-pelakunya. Bukan¬kah dulu dari Masjidlah digalang persatuan dan semangat juang umat Islam untuk mengenyahkan penjajah, baik yang bernama imperialisme Perancis, Inggris, Belanda dan konco-konconya, maupun yang bernama Zeonisme Yahudi? Jika dewasa ini Masjid tidak difungsikan sebagaimana mestinya lagi, maka itulah kesalahan khatib-khatib yang rela membelok¬kan ajaran agama, hanya karena keselamatan pribadi dan kepentingan perut dan kedudukannya.
Sangat beruntung jika dalam keadaan tidak berfungsinya Masjid-masjid dewasa ini bangkit ulama yang ikhlas demi Allah. Mereka menyerukan agar kembali menjadikan Masjid sebagai sentral dakwah Islamiyah. Dari sanalah kita bina masyarakat Islam, kita bina dan cetak kader-kader, dan kita siapkan pahlawan-pahlawan agama. Dari sanalah kita pernangi kejahatan dan kemungkaran, guna memudah¬kan terbentuknya masyarakat Islam yang diidam¬-idamkan. Kemudian pendirian seperti ini disadani dan dilanjutkan oleh generasi muda Islam yang su¬dah berilmu dan berakhlak bagaikan akhlaknya Rasulullah saw.
Kelima belas
Persaudaraan yang dibina Rasulullah antana kaum Muhajirin dan Anshar adalah juga merupakan kenyataan dan keadilan Islam yang berperikemanu¬siaan, bermoral, dan konstruktif. Kaum Muhajirin telah meninggalkan negeri kelahirannya dengan tidak membawa harta benda, sedangkan kaum Anshae rata-rata merupakan orang-orang kaya dengan hasil pertanian dan industri.
Oleh karena itu pantaslah jika mereka turun tangan mengatasi kesulitan-kesulitan yang diderita oleh saudara-saudaranya yang Muhajirin. Sungguh ini adalah perbuatan yang melebihi ajaran keadilan sosial yang didengung-dengungkan faham sosialisme dewasa ini?
Atas dasar di atas dapatlah dikatakan, orang-¬orang yang mengingkari adanya keadilan sosial dalam Islam adalah orang yang memutarbalikkan fakta, setidak-tidaknya bermaksud agar ajaran ini ditinggalkan sedikit demi sedikit, atau agar orang yang belum memeluknya sama sekali menjadi tidak senang kepadanya. Kalau orang yang mengingkari¬nya itu adalah onang Islam sendiri, maka pastilah mereka itu orang yang jumud (tidak mengerti) yang tidak suka akan kata “keadilan sosial” itu saja. Sejarah telah membuktikan hal ini, Nabi saw. sendiri telah menegakkannya dan sekaligus menjadikannya landasan bagi berdirinya masyarakat dan negara Islam yang dipimpinnya sendiri.
Keenam belas
Dalam piagam persaudaraan antara kaum Muhajinin dan kaum Anshar, di satu pihak, dan piagam kerjasama antara kaum Muslimin dengan non Muslim di lain pihak, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan Daulah Islamiyah itu ditegakkan di atas prinsip keadilan, asas hubungan antara Muslimin dan non Muslimin adalah perdamaian. Dalam piagam tersebut ditegaskan pula kebenaran, keadilan, gotong royong dalam kebaikan dan dalam mengikis segala akibat yang ditimbulkan oleh ke¬mungkaran, yang telah melanda masyarakat meru¬pakan tema-tema yang selalu dibawa oleh agama Islam. Daulah Islamiyah itu, di mana dan kapan pun adanya, haruslah ditegakkan di atas pninsip-prinsip yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Prinsip¬-prinsip dimaksud tentulah yang terbaik di antana prinsip-prinsip kenegaraan yang ada dan dipraktek¬kan dewasa ini. Usaha-usaha masyarakat Islam ada¬lah sangat relevan dengan perkembangan pemikiran manusia tentang kenegaraan, hal mana masyarakat Islam sendiri harus mencontoh ajaran Islam sendiri.
Di negeri Islam, kaum Muslimin tetap dilarang mengganggu kawan-kawannya yang non Muslim. Dilarang menganggu keyakinan mereka dan dilarang memperkosa hak-hak mereka. Mengapa orang-orang masih tidak setuju memberlakukan hukum Islam di negerinya masing-masing, padahal hukum Islam ini cukup adil, benar, kokoh, memen¬tingkan keadilan sosial yang berasaskan persau¬daraan, cinta mencintai, dan tolong menolong?
Kepada seluruh umat Muslimin patutlah diperingatkan, penjajahan, dalam segala bentuk dan manifestasinya, tidaklah akan terkikis habis, melain¬kan dengan cara menerapkan Islam. Inilah inti perjuangan dakwah dewasa ini. Perhatikan firman Allah berikut, “Sekiranya penduduk negeri sudah beriman dan bertakwa, pastilah akan Kami limpahkan kepadanya keberkahan dan langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)
“Dan yang Kami perintahkan ini adalah jalan yang lurus, maka turutilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan yang lain itu mencerai-beraikan kamu dan membelokkan dan jalan¬Nya.” (Al-An’am: 153)
“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan kelua dan memberinya rezeki dari jalan yang tiada disangka-sangka, dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Ia akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (At-Thalaq: 2-3)
“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (At-Thalaq: 4)
“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (At-Thalaq: 5)


Sumber: http://www.dakwatuna.com

Friday 2 December 2011

Dosen UI: Kerjasama dengan IAIN Membuat UI Liberal


“I can tolerate homosexualism, I can tolerate lesbianism, but I can’t tolerate plagiarism.” Ucapan itu dikatakan salah seorang dosen Sastra di UI. Dengan entengnya, ia mengatakan menjiplak sebuah karya lebih berbahaya dari homoseksualisme. Lantas sejak kapan kampus penghasil aktifis dakwah kampus itu berada dalam bayang-bayang liberalisme?
Menurut Ustadz Abdi Kurnia, selaku Dosen Mata Kuliah Agama Islam di UI mengatakan bahwa sejarah liberalisme di UI telah berjalan cukup lama. Setidaknya hal itu dapat dilacak saat keran kerjasama antara UI dengan IAIN (kini UIN, red) dibuka pada tahun 1993.
“Pada waktu itu terjadi kerjasama untuk peningkatan mutu dosen agama. Mulailah secara perlahan nama-nama seperti Mulyadi Kartanegara, Yunasril Ali, Kautsar Azhari Noer, dan Komaruddin Hidayat berdatangan ke UI,” terangnya kepada Eramuslim.com, Selasa 15/11.
Selanjutnya kerjasama tersebut juga menjalar pada level mahasiswa. Interaksi kuat antara mahasiswa IAIN dengan UI ditengarai membawa warna liberalisme di UI. Tokoh-tokoh Liberal seperti Dawam Rahardjo pun kemudian diundang untuk menjadi pembicara dalam diskusi mahasiswa. Bibit-bibit itu terus berlangsung di tahun 1993.
Pada tahun 1996 dinamika pemikiran liberal di UI kian mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan berdirinya kelompok kajian yang menamakan diri Forum Ilmiah Kajian Islam (FIKI).
Menurut Ustadz Abdi Kurnia yang juga adalah mahasiswa UI era 90-an berdirinya FIKI tidak lepas dari resistensi atau kritik terhadap gerakan tarbiyah yang kala itu massif di UI. FIKI seakan menjadi lawan tanding dari aktivitas dakwah kampus untuk mengIslamkan UI.
Akan tetapi, umur kelompok kajian ini tidaklah panjang, “Tahun 2001 FIKI hilang dengan sendirinya seiring dengan lulusnya para aktifis FIKI,” tandas Sekretraris Keluarga Alumni Mesjid UI itu.
Meski ditinggal para seniornya, geliat liberalisme di UI bukan berarti berhenti. Nuansa liberal semakin menjadi-jadi ketika nama-nama seperti Zainun Kamal (UIN), Luthfi Asy Syaukanie (Paramadina), dan Ulil Abshar Abdalla (JIL) mengajar di Jurusan Filsafat UI. (Pz)

Sunday 20 November 2011

Hukum Menambah Nama Suami di Belakang Nama Istri

Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad kepada para keluarganya sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Penisbatan istri kepada nama suaminya merupakan hal yang belum dikenal dizaman para salasus shalih dahulu, namun baru dikenal dizaman ketika kaum muslimin mulai berinteraksi dengan budaya barat yang memang tidak memiliki jati diri.

Dalam ajaran Islam seorang istri tidak boleh menambahkan nama suaminya atau nama keluarga suaminya yang terakhir setelah namanya sebagaimana banyak terjadi kepada non-muslim berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (3508) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:


لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ ، وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب - فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Artinya: (tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka).


وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya) HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104).

Dalam dua hadits diatas ada ancaman keras bagi yang mengganti nama ayahnya atau keluarganya dan menisbatkan dirinya kepada keluarga atau kaum yang bukan asalnya.

Disamping itu perbuatan ini juga merupakan tasyabuh(menyerupai) orang-orang kafir, karena tradisi yang tercela ini tidak pernah dikenal kecuali dari mereka, dan dari merekalah sebagian kaum muslimin yang awam mengadopsinya.

Kesimpulannya kita sebagai muslim yang memiliki jati diri, yang taat kepada Allah Ta’alaa dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah menghindari hal-hal seperti ini karena adanya larangan tasyabuh dengan mereka apalagi biasanya hal itu hanya ditujukan untuk mencari sensasi.

Wallahu A’lam

(ar/voa-islam.com)

Friday 28 October 2011

Sebelas Rambu Bagi Seorang Pemimpin

Pertama : Niat Ikhlas.
Seorang pemimpin dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan semata-mata hanya untuk menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh yang dijanjikan Allah kepadanya, jika melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik. Karena setiap amal tergantung niat pelakunya, dan keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah untuk memperkaya diri atau semata-mata Lillahi Ta'ala.

Kedua : Pemimpin Harus Dari Kaum Laki-Laki.
Seorang wanita tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik untuk komunitas tertentu, skala kecil, apalagi untuk masyarakat yang lebih luas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوا أَمْرَهُمْ اِمْرَأََةٌ.

"Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita".[1]


Salah satu hikmahnya, karena wanita memiliki beberapa kelemahan dan kondisi yang dapat menghalanginya untuk melaksanakan tugas. Wanita memiliki akal dan fisik yang lemah, serta tidak terlepas dari kondisi tertentu, misalnya haidh, nifas, melahirkan, menyusui, dan lain-lain.

Ketiga : Tidak Meminta Jabatan.
Secara syar'i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ.

"Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan" [2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.

"Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim".[3]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سمرة لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا. وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ.

Ya 'Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik".[4]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan salah seorang sahabat yang datang meminta agar diberi sebuah jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّا- والله- لَا نُوَلِّي هَذَا الأمرَ أحدًا سَأَلَهُ وَلَا أحدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.

"Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya." [5]

Alasan penolakan ini, karena setiap orang yang berambisi tentu berani melakukan apa saja demi mendapat jabatan atau demi mempertahankannya. Oleh karena itu, selayaknya jangan berambisi dan berusaha untuk mendapatkan jabatan pemerintahan. Sebab hal itu dapat menghalangi taufiq Allah Azza wa Jalla, sehingga sepenuhnya akan dibebankan kepadanya. Sikap ambisius akan mendorongnya berbuat aniaya dan dosa besar demi mendapatkan dan mempertahankannya. Namun, bila jabatan itu diberikan kepada orang yang tidak menginginkannya bahkan tidak menyukainya, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan membantunya dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.

Sebagian orang berdalih bolehnya meminta jabatan dengan mendasarkan kepada kisah Nabi Yûsuf Alaihissallam yang meminta kedudukan kepada Raja Mesir, sebagaimana diceritakan oleh Allah:

"Yusuf berkata: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)". [Yûsuf/12:55].

Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari Syikh 'Abdul-Malik ar- Ramadhani dalam kitab Madârikun-Nazhar: "Padahal sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian dari Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf /12:55].

Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang bisa menjaga) dengan kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang pandai menjaga). Begitu juga kata al-'Âlîm (orang yang mengetahui) dengan kata al-'Âlîm (orang yang sangat mengetahui).Perhatikan benar-benar perbedaan ini, karena merupakan salah satu rahasia Al-Qur`ânul-Hakim!

Sungguh mengherankan melihat segelintir orang yang mempersilakan dirinya menerima jabatan-jabatan politik -meski sistem parlemen tersebut kafir dan keji- lantas menjadikan perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tadi sebagai alasannya. Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang menawarkan jabatan kepadanya. Tawaran itupun baru diterima setelah sang penguasa memberikan jaminan keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran, pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan tuntutan-tuntutan!

Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:

"Dan Raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku," maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf/12:54-55].

Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan dan terlalu percaya diri. Sehingga setan datang melukiskan khayal, seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran. Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi manusia. Wallahul-Musta'an. Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara syar'i, dan tidak menerapkan undang-undang rajanya yang kafir itu dengan mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya:

"Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui". [Yûsuf/12:76].[7]

Anggaplah alasan-alasan mereka itu kita terima, maka kita bantah dengan kaidah Ushul Fiqih: "Syariat sebelum kita tidak lagi menjadi syariat bagi kita, jika bertentangan dengan syariat kita". Dalam masalah ini perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam itu bertentangan dengan syariat kita. Karena kita dilarang meminta jabatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Wahai Abdur-Rahmân, janganlah meminta jabatan. Jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani. Jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong dalam melaksanakannya". Muttafaqun 'alaihi.

Kita bantah pula, sesungguhnya Nabi Yûsuf Alaihissallam telah mendapat rekomendasi dari Allah, dan beliau Alaihissallamhanya melaksanakan yang diperintahkan Allah. Artinya, seluruh manusia pasti terkena hukum: "Karena, jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani" kecuali orang-orang yang dijaga oleh wahyu sehingga bisa terhindar dari kesalahan.

Adapun orang-orang berlagak pintar itu tunduk kepada undang-undang yang sedang atau akan berlaku. Bahkan sebelum menduduki jabatan, mereka harus bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi yang berlaku. Begitulah kenyataannya! Kita tidak pernah melihat kenyataan selain itu. Sungguh aneh orang yang ingin menyingkirkan kekufuran dengan membawa kekufuran baru.

Secara singkat, dalam hal ini dapat kita simpulkan lima jawaban.
1. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak meminta jabatan, namun hanya ditawari, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Adapun perkataan "jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)", ini merupakan penjelasan tentang spesialisasi yang beliau miliki dan pilihan secara pribadi.

2. Nabi Yûsuf Alaihissallam terhindar dari tekanan Raja dan dapat melaksanakan syariat Islam secara baik. Dua hal ini mustahil dapat diterapkan pada undang-undang sekuler sekarang ini.

3. Nabi Yûsuf Alaihissallam mendapat rekomendasi dari Allah karena kedudukan beliau selaku rasul. Beliau terhindar dari gangguan-gangguan yang bisa menimpa orang lain.

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin: Bahwa Amirul-Mukminin 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengangkat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjadi Gubernur Bahrain. Lalu Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu pulang dengan membawa uang sebesar 10.000 dinar. Maka Umarpun berkata kepadanya: "Hai musuh Allah dan kitab-Nya, apakah engkau telah mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?"
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Aku bukan musuh Allah dan kitab-Nya, akan tetapi aku musuh terhadap orang yang memusuhi Allah dan kitab-Nya!
"Lalu dari mana harta sebanyak itu?" selidik Umar.
"Dari ternak kuda-kudaku beranak pinak, dari hasil bumiku, dan dari hadiah yang datang terus-menerus," jawab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Merekapun menyelidikinya dan mendapati kebenaran pengakuan Abu Hurairah Radhiyalahu 'anhu tadi.

Setelah itu 'Umar Radhiyallahu 'anhu memanggilnya kembali untuk diserahi jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata kepadanya: "Apakah engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini, yakni Nabi Yûsuf Alaihissallam?!"

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Yûsuf Alaihissallam adalah seorang nabi, putera seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku, hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut terhadap tiga kesulitan sebagai akibat dari dua perkara".

"Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!" sergah Umar Radhiyallahu 'anhu.

Jawab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu "Saya takut berkata tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa belas kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku dirampas dan kehormatanku dicemarkan!"[8]

4. Syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita bila bertentangan dengan syariat kita. Dalam masalah ini meminta jabatan seperti yang dilakukan Nabi Yûsuf Alaihissallam bertentangan dengan syariat kita.

5. Nabi Yûsuf Alaihissallam menduduki jabatannya untuk menjalankan misi kerasulan. Sekiranya ada yang boleh mengikuti perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tersebut, maka ia harus seorang pewaris nabi, yaitu ulama mujtahid.

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata: "Jika tindakan semacam itu dibenarkan, maka seorang alim boleh merekomendasikan dirinya untuk menempati kedudukan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai ulama. Hal itu termasuk menceritakan nikmat-nikmat Allah kepadanya sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat yang telah dianugerahkan itu" [9]. Wallahu a'lam.

Keempat : Berhukum dengan Hukum Allah.
Ini merupakan kewajiban terbesar yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan penguasa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah". [al-Mâ`idah/5:49].

Memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan seorang pemimpin. Jika ternyata ia menyimpang dari hukum Allah, maka ia bukanlah orang yang pantas untuk mengemban jabatan itu.

Kelima : Menjatuhkan Hukum Secara Adil Diantara Manusia.
Ini juga termasuk kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

"Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan". [Shâd/38:26].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"...dan (menyuruh kamu) agar senantiasa bersikap apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil .." [an-Nisâ`/4:58].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا.

"Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, pada hari Kiamat kelak, ia berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Allah Azza wa Jalla yang Maha pengasih. Kedua tangan Allah sebelah kanan. (Mimbar tersebut) diberikan untuk orang yang bersikap adil dalam berhukum mereka, keluarga mereka, dan yang mereka kuasai" [10]

Oleh karena itu, seorang pemimpin wajib bersikap adil terhadap rakyatnya dan memberikan perlakuan yang sama di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"... Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." [al-Mâ`idah/5:8].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَمْيرٍ عَشَرَةٍ إِلَّا وَهُوَ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا حَتَّى يَفُكَّهُ العَدْلُ أَوْ يُوْبِقَهُ الجورِ.

"Tidaklah seorang lelaki memimpin sepuluh orang, kecuali ia akan didatangkan dalam keadaan tangan yang terbelenggu pada hari Kiamat. Kebaikan yang ia lakukan akan melepaskannya dari ikatan, atau dosanya akan membuat dirinya celaka" [11].

Keenam : Siap Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya.
Seorang pemimpin harus membuka pintunya untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat, mendengarkan pengaduan orang-orang yang teraniaya dan keluhan mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَ حَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ.

"Tidaklah seorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pintunya dari orang-orang yang memiliki kebutuhan, keperluan serta orang-orang fakir, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari keperluan, kebutuhan dan hajatnya" [12]

Hadits ini merupakan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap pemimpin yang menutup pintu dari rakyat yang dipimpinnya.

Ketujuh : Memberi Nasihat Kepada Rakyatnya dan Tidak Mengkhianatinya.
Seorang pemimpin harus selalu memberi nasihat yang baik kepada rakyatnya tentang segala perkara berkaitan dengan urusan dunia maupun agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ.

"Tak seorang pemimpinpun yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak pernah letih dari mengayomi dan menasihati mereka, kecuali pemimpin itu akan masuk ke dalam surga bersama mereka" [13].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.

"Tidaklah seorang hamba yang mendapat amanah dari Allah untuk mengayomi rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah telah haramkan surga baginya". [14]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.

"Dari Tamim ad-Daari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Diin (agama) itu adalah nasihat," kami bertanya: "Untuk siapa?" Beliau menjawab: "Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya".[15]

Masyarakat juga harus memberikan nasihat kepada pemimpin dan tetap mentaatinya, selama mereka tidak disuruh kepada perkara yang dilarang Allah. Jangan sampai mereka melepaskan diri dari ketaatan dan melakukan pemberontakan walau bagaimanapun buruknya penguasa itu. Kecuali bila terlihat kekufuran yang nyata, dan ada dalil yang jelas tentang pengkafiran tersebut dari Allah.

Kedelapan : Pemimpin Jangan Menerima Hadiah.
Jika ada rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin, hampir bisa dipastikan, dibalik itu mereka ingin agar sang pemimpin dekat dengannya dan menyukai dirinya. Maka seorang pemimpin janganlah menerima hadiah-hadiah semacam ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الهَدِيَّةُ إِلَى الإِمَامِ غَلُوْلٌ

"Hadiah yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah pengkhianatan" [6].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

هَدَايَا العُمَّالِ غَلُوْلٌ

"Hadiah-hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah pengkhianatan".[17]

Demikian juga, semua orang yang bertugas melayani urusan kaum muslimin, ia tidak boleh menerima hadiah dan jangan ada sedikitpun yang disembunyikannya. Berapapun hadiah yang diterimanya, harus ia serahkan kepada pemerintah. Jangan ada sedikitpun yang dijadikan sebagai milik pribadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمْنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

"Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk mempimpin lalu ia menyembunyikan satu jarum atau lebih, maka pada hari Kiamat nanti ia akan datang membawanya" [18]

Salah seorang gubernur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada yang berkata: "Yang ini untuk kalian dan yang ini dihadiahkan untukku," lantas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا.

"Amma ba'du, mengapa pejabat yang kami angkat berkata: "Yang ini dari hasil pekerjaan kalian, sementara yang ini khusus dihadiahkan untukku?" Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu ia tunggu, apakah masih ada orang yang mau memberikan hadiah untuknya ataukah tidak?" [19]

Kesembilan : Seorang Pemimpin Harus Mengambil Penasihat dari Kalangan Orang-Orang Shâlih.
Seorang pemimpin harus mengambil penasihat dari kalangan orang-orang shâlih yang mampu mengingatkannya saat ia lupa, dan membantunya saat teringat, selalu mengawasinya agar bersikap baik dan berlaku adil, memberinya nasihat dan pengarahan, serta mendorongnya untuk berbuat baik dan menjaga ketakwaan. Dengan cara ini, maka semua urusan pasti lurus.

Adapun penasihat yang buruk, tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan darinya. Karena mereka tidak dapat membantu untuk berbuat kebajikan, bahkan akan membantu setan untuk menggelincirkan si pemimpin. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ تَعَالَى.

"Tidak ada nabi yang Allah utus, dan tidak pula ada seorang pemimpin yang Dia angkat, kecuali mereka mempunyai dua jenis teman dekat. Teman yang menyuruhnya untuk berbuat baik serta selalu membantunya dalam berbuat baik, dan teman yang menyuruhnya berbuat untuk jahat serta selalu mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Orang yang selamat, ialah orang yang memang dijaga Allah Subhanahu wa Ta'ala" [20].

Kesepuluh : Seorang Pemimpin Harus Bersikap Ramah Terhadap Rakyat.
Sebagaimana dikatakan para ulama salaf, seorang pemimpin harus bersikap sebagai anak terhadap orang-orang tua, sebagai saudara untuk yang sebaya, dan sebagai orang tua terhadap anak-anak. Ia harus bersikap lembut, ramah serta menyayangi mereka, dan tidak membebaninya dengan urusan yang tidak mereka sanggupi. Dengan sikap ini, sebagai pemimpin, ia berhak mendapat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ

"Ya Allah, bagi siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan kepadanya. Dan barang siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia.". [21]

Kesebelas : Jujur Menjalankan Semua Urusan yang Berkaitan dengan Kaum Muslimin.
Dalam hal ini, seorang pemimpin harus membantu ahli sunnah serta membasmi ahli bid'ah dan pelaku kerusakan, mengibarkan panji amr ma'ruf nahi mungkar serta panji-panji jihad fi sabilillah, berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan, agama, harta kaum muslimin dan lain-lain.

Ia juga harus mengevaluasi kinerja para pejabat dan pegawainya secara kontinyu, memperhatikan cara mereka menjalankan tugas, dan sikap mereka terhadap rakyat. Ia juga harus memilih jalan terbaik dalam menyelesaikan semua problem masyarakat. Para bawahan juga diharuskan memberi laporan-laporan secara jujur dan rinci mengenai tugas yang telah dilakukan. Sesungguhnya ia akan mempertangungjawabkan semua tugas dan kewajibannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Thursday 27 October 2011

Inilah Keutamaan Kota Madinah, Semoga Kita Bisa Mengunjunginya


Oleh: Ust. Firman Firdaus

Begitu banyak peninggalan-peninggalan bersejarah dengan nilai-nilai keimanan tinggi terkumpul di Madinah. Keutamaan dan kemuliaan kota Madinah menghiasi pendengaran dan penglihatan.

Allah 'Azza wa Jalla menjadikan kota Madinah sebaik-baik tempat setelah Makkah Al Mukarramah. Tempat diturunkannya wahyu dan tempat bertemunya antara Muhajirin dan Anshor, dan di dalamnya ditegakkan bendera jihad fi sabilillah dan tersebarnya Al Islam keseluruh penjuru alam. Banyak hadist Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan sisi-sisi keutamaan kota Madinah. Diantaranya adalah:

1. Madinah Sebagai Kota Suci

Madinah oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dijadikan sebagai kota suci. Di sinilah Islam tumbuh, berkembang, dan menyebar luas, sehingga semesta yang pada waktu itu tertutup oleh kegelapan jahiliyah menjadi terang benderang oleh cahaya Islam.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bin `Ashim Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لِأَهْلِهَا وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ وَإِنِّي دَعَوْتُ فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا بِمِثْلَيْ مَا دَعَا بِهِ إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ

"Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Makkah dan mendoakan penduduknya dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim telah mengharamkan Makkah. Dan sesungguhnya aku juga berdoa agar setiap sha` dan mudnya diberkahi dua kali lipat dari yang didoakan Ibrahim untuk penduduk Makkah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ حَرَّمَ مَكَّةَ. وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِيْنَةَ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا. لاَ يُقْطَعُ عِضَاهُهَا وَلاَ يُصَادُ صَيْدُها

"Sesungguhnya Ibrahim menjadikan Makkah Tanah Suci dan aku menjadikan Madinah Tanah Suci di antara tepinya. Tidak boleh ditebang kayu berdurinya dan tidak boleh diburu binatang buruannya." (HR. Al-Bukhari)

Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan batasan-batasan tanah haram di Madinah. Wilayah haram membentang dari Gunung Tsaur (yang merupakan perbatasan sebelah utara) hingga Gunung I'er (yang merupakan perbatasan sebelah selatan). Dan dari Harroh Waqim (yang merupakan perbatasan sebelah timur) hingga Harroh Wabroh (yang merupakan perbatasan sebelah barat).

2. Jaminan Syafaat Bagi Orang yang Menanggung Kesusahan di Madinah dan Meninggal di Dalamnya

Ini merupakan sebuah kehormatan bagi penduduk Madinah atau yang menziarahinya apabila meninggal di dalamnya. Rasullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menganjurkan umatnya agar menutup usia di Kota tersebut. Beliau bersabda,

“Siapa yang mampu menutup usia di Madinah, maka hendaklah dia meninggal di sana, karena aku memberi Safa`at pada orang yang meninggal di sana.”( HR. Tirmizi dan Ahmad)

Diriwayatkan dari Sa'id bin Abu Sa'id dari Abu Sa'id maula Al-Mahri, dia datang kepada Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'Anhu di malam peristiwa Al-Harrah meminta nasehatnya untuk keluar dari Madinah, seraya mengeluhkan harga barang-barang yang tinggi dan ia mempunyai banyak tanggungan. Dia menyampaikan, sudah tidak mampu lagi menanggung cobaan dan kesulitan hidup Madinah. Lalu Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu menjawab, “Celakalah engkau! Aku tidak merestuimu untuk melakukan hal itu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

لَا يَصْبِرُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا فَيَمُوتَ إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا

"Tidaklah seseorang yang tetap tinggal (di Madinah), bersabar dengan cobaan dan kesukarannya lalu meninggal di sana, melainkan aku akan memberi Safa'at dan menjadi saksinya pada hari kiamat, jika ia seorang muslim.”(HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ صَبَرَ عَلَى لَأْوَائِهَا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Siapa bersabar dengan kesukaran di Madinah, maka aku akan memberi syafa'at atau menjadi saksi untuknya pada hari Kiamat." (HR. Muslim)

Dalam sabdanya yang lain,

مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَفْعَلْ فَإِنِّي أَشْهَدُ لِمَنْ مَاتَ بِهَا

Siapa di antara kalian yang bisa meninggal di Madinah, hendaklah dia berusaha ke arah itu. Karena sesungguhnya Aku menjadi saksi bagi siapa yang meninggal di sana." (HR. Muslim dari Ibnu Umar)

Amirul Mukminin, Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu pernah berkeinginan meninggal di kota Madinah, beliau berdoa,

اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Ya Allah, karuniakanlah aku syahid di jalan-Mu dan jadikan kematianku di negeri Rasul-Mu Shallallahu 'Alaihi Wasallam (Madinah)." (HR. Bukhari)

3. Tempat Kembalinya Keimanan

Tidak diragukan lagi, Madinah adalah ibukota pertama umat Islam dan darinya tersebar Islam keseluruh penjuru alam. Dan setiap muslim menyimpan rasa rindu untuk menziarahinya dan karena kecintaannya kepada Rasulullah Shalallahu A'laihi Wasallam.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا

“Sesungguhnya keimanan akan kembali ke Madinah seperti kembalinya seekor ular ke dalam lubangnya.”( HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bebas dari Thaun dan Dajjal

Salah satu keutamaan kota Madinah lainnya adalah ia dijaga oleh para Malaikat sehingga tha’un—yaitu wabah penyakit menular yang bisa memusnahkan semua penduduk suatu negeri— dan Dajjal tidak bisa memasukinya. Banyak hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentangnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Di pintu-pintu masuk Madinah terdapat para malaikat sehingga wabah tha’un dan Dajjal tidak bisa memasukinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Tidaklah setiap negri melainkan Dajjal akan menginjakkan kakinya di sana kecuali Makkah dan Madinah. Dan tidaklah setiap pintu masuk kota tersebut melainkan ada para malaikat yang berbaris menjaganya. Lalu Dajjal singgah di Sapha, kemudian Madinah berguncang tiga kali dan melemparkan setiap orang kafir dan munafik dari dalamnya menuju ke tempat Dajjal." (HR. Bukhari dan Muslim, redaksinya berasal dari Muslim)

5. Madinah Adalah Tempat Yang Penuh Barakah Dan Kebaikan

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda tentang kota Madinah,

إِنَّهَا طَيْبَةُ يَعْنِي الْمَدِينَةَ وَإِنَّهَا تَنْفِي الْخَبَثَ كَمَا تَنْفِي النَّارُ خَبَثَ الْفِضَّةِ

"Ia Thaibah, yaiut Madinah. Ia menghilangkan segala keburukan sebagaimana api yang menghilangkan kotoran pada perak." (HR. Muslim)

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata, "Kami tiba di Madinah ketika kota tersebut dilanda wabah penyakit sehingga Abu Bakar dan Bilal mengeluhkan keadaan itu. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyaksikan keluhan para sahabatnya, beliau berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ وَصَحِّحْهَا وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا وَحَوِّلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ

" Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada Madinah sebagaimana Engkau membuat kami mencintai Makkah bahkan lebih besar lagi, bersihkanlah lingkungannya, berkatilah untuk kami dalam setiap sha` serta mudnya (sukatan) dan alihkanlah wabah penyakit (Madinah) ke daerah Juhfah." (HR. Muslim)

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لِأَهْلِهَا وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ وَإِنِّي دَعَوْتُ فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا بِمِثْلَيْ مَا دَعَا بِهِ إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ

"Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Makkah dan mendoakan penduduknya dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim telah mengharamkan Makkah. Dan sesungguhnya aku juga berdoa agar setiap sha` dan mudnya diberkahi dua kali lipat dari yang didoakan Ibrahim untuk penduduk Makkah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

6. Memiliki Beberapa Nama yang Mulia

Madinah memiliki nama banyak yang menunjukkan akan kedudukannya yang tinggi. Tetapi hanya ada enam nama yang tersebutkan dalam hadits-hadits shahih, yaitu:

a. Yatsrib, ini adalah nama Madinah di zaman jahiliah. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menggantinya karena maknanya yang buruk dan melarang menggunakan nama ini setelah Islam.

b. Al-Madinah, merupakan nama yang terkenal setelah hijrah. Telah datang banyak penyebutannya dalam Al Quran dan As Sunnah shahihah.

c. Thobah & Thoibah, kedua nama ini diberikan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

d. Ad Daar wal Iman, datang penyebutan kedua nama ini dalam Al-Quran Al-Karim pada firman Allah 'Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Ad Daar wal Iman(yaitu kota Madinah) sebelum mereka." (QS. 59:9)

Masih banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan keutamaan kota Madinah. Semoga ada niat besar dalam diri kita untuk menziarahinya, karena Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إلَّا إلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ : الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ ، وَمَسْجِدِي هَذَا ، وَالْمَسْجِدُ الْأَقْصَى

"Janganlah memaksakan bersafar (ke tempat tertentu karena keutamaan tempat tersebut) kecuali untuk pergi ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha." (Muttafaq 'Alaih). Wallahu a’lam bishowaab. Semoga bermanfaat. [PurWD/voa-islam.com]

* Penulis adalah Mahasiswa di Jami'ah Islamiyah Madinah.