Website Para Ustadz

Kumpulan website resmi para ustadz-ustadz terpercaya, Insha Allah.

Googling atau Yufiding?

www.yufid.com adalah islamic search engine, atau mesin pencari ilmu-ilmu islam.

Sunnah Witir diluar Ramadan

“Wahai orang-orang yang cinta kepada Al-Qur’an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) yang ganjil.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah)

7 Orang Sukses Kuliah sambil Ngaji

Sukses Dunia Akhirat, Why Not?

Waktu-Waktu Terkabulnya Do'a

Jika bekerja pun ada waktu-waktu yang tepat,begitu pula dengan Do'a

Tuesday 31 July 2012

Hadits Ahad

a. Pengertian
b. Macam-macamnya berdasarkan jalan periwayatan beserta contoh-contohnya.
c. Macam-macamnya berdasarkan derajatnya beserta contoh-contohnya.
d. Faedah-faedahnya.
a. Ahad (الاحاد).
Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.
b. Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
  1. Masyhur (المشهور) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده
    Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.
  2. ‘Aziz (العزيز) adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين

    “Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
  3. Ghorib (الغريب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
    “Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim)
    Hadits ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.
c. Macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi, hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.
  1. Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (الصحيح لذاته). Shohih lidzatihi adalah hadits yang rowinya:
    • Adil (عدل),
    • Hafalannya kuat (تام الضبط),
    • Sanadnya bersambung (بسند متصل),
    • Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (سلم من الشذوذ و العلة القادحة).
    Contohnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
    من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين
    “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)
    Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:
    • Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam melakukan penshohihan seperti Shohih Bukhori dan Muslim.
    • Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal mudah dalam memberikan nilai shohih.
    • Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut terhadap hadits.
    Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang shohih.
  2. Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (الصحيح لغيره).
    Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya,
    Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.
    Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.
    Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih.
  3. Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya) (الحسن لذاته).
    Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.
    Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
    مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم

    “Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
    Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.
  4. Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (الحسن لغيره).
    Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)
    Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.
    Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.
  5. Hadits dho’if (الضعيف)
    Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan. Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.”
    Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikhkeduanya.
d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:
  1. Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)*.

    * Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat. Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallammengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin) jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama, yaitu :Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu. Memberi makna yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.Memberi faidah dzon.
    Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallammengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
  2. Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan mempraktekkannya jika berupa tuntutan*.
    * Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah aqidah tidak diamalkan.Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut Tahrir.
    Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon. Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.
Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .
* Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani. membolehkan dengan tiga persyaratan ini.
  1. Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat*.

    * Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.
  2. Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti ada berdasarkan hadits yang shohih*.

    Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih. Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam. Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih.
    Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal (landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah hadits yang shohih.
  3. Tidak diyakini bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya*.

    * Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”. Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”.
    Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallammengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah bukan hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi suatu amal (targhib) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.
Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam tarhib adalah menakuti-nakuti jiwa untuk melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi hukuman yang disebutkan.

Sunday 29 July 2012

Pengertian Musthalah Hadits dan Pembagian Khabar Berdasarkan Jalan Periwayatan


  1. Pengertian
  2. Faedah
  1. Mustholah hadits adalah ilmu yang menjadi alat untuk mengetahui kondisi seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan dari sisi diterima atau ditolak.
  2. Faedahnya adalah untuk mengetahui riwayat-riwayat yang diterima atau ditolak dari seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan.
Al Hadits, Al Khobar, Al Atsar, Al Hadits Qudsi
Al Hadits (الحديث)*
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam baik perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat** .
* Ini adalah pengertian hadtis secara istilah. Adapun pengertian secara bahasa bermakna “yang baru”.
** Ada 2 sifat : sifat jasmani dan sifat akhlak
Al Khobar (الخبر):
Semakna dengan hadits, maka definisinya sama dengan definisi al hadits. Ada yang berpendapat bahwa khobar adalah segala yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada selainnya, berdasarkan definisi ini maka khobar itu lebih umum dan lebih luas dari pada hadits.
Al Atsar (الأثر):
Segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits Qudsi (الحديث القدسي):
Hadits yang diriwayatkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala, juga dinamai juga hadits Rabbani dan hadits Ilahi. Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb Ta’ala, Dia berkata,
“Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku, dan aku bersamanya ketika mengingat-Ku, jika dia meningat-Ku dalam dirinya: maka aku mengingatnya dalam diri-Ku, Jika dia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dari sekumpulan orang tersebut.” *
* Di sini ada sifat an Nafs untuk Allah Ta’ala. Seperti dalam ayat 116 surat Al Maaidah,“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.”. Hadits Qudsi ini juga menjadi dalil bahwa malaikat lebih baik dari manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memperinci, yaitu: jika melihat keadaan sekarang maka malaikat lebih mulia sedang jika melihat di akherat, maka manusia lebih mulia. Dan hadits ini bukan menjadi dalil untuk dzikir berjama’ah. “Jika dia mengingatku dalam sekumpulan orang” maksudnya orang-orang sekitarnya kemungkinan adalah orang yang lalai atau dia berada di majelis ilmu dan mengingat Allah.
Urutan Hadits Qudsi itu terletak antara Al Qur’an dan Hadits Nabi.
  • Al Qur’an Al Karim: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz maupun maknanya.
  • Hadits Nabi: Dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam : lafadz dan maknanya.
  • Hadits Qudsi: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala maknanya tanpa lafadznya.
Maka, membaca hadits Qudsi tidak dinilai sebagi ibadah, tidak boleh dibaca dalam sholat, tidak terwujud dengannya tantangan* dan tidak dinukil secara mutawattir seperti Al Qur’an bahkan di dalamnya ada yang shohih, dho’if dan maudhu’.
* Mu’jizat adalah sesuatu yang diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul untuk menerima tantangan. Jika itu benar mu’jizat, maka tidak akan ada yang berhasil menantangnya. Dan hal ini tidak berlaku untuk hadits qudsi.
Pembagian Khobar Berdasarkan Jalan Periwayatannya
Khobar terbagi menjadi dua berdasarkan jumlah jalan penukilannya sampai kita, yaitu mutawatir dan ahad.
Muttawatir
  1. Pengertian
  2. Macam-macamnya dan contohnya
  3. Faedahnya
1. Mutawattir (المتواتر):
Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara ‘adat mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dan mereka sandarkan pada sesuatu yang bisa diindra.
2. Mutawattir terbagi menjadi dua:
Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir maknanya saja.
Muttawattir lafadz dan maknanya (المتواتر لفظا و معنى) adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz dan maknanya. Misalnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
من كذب عليّ معتمدا، فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah bertempat dineraka.”
Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat diantaranya 10 orang yang dijamin masuk surga dan dari mereka terdapat banyak orang yang meriwayatkan hadits tersebut.
Muttawattir makna (المتواتر معنى) adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf. Terdapat syair yang berbunyi:
مما تواتر حديث من كذب و من بنى للّه بيتا زاحتسب
و رؤية شفاعة والحوض ومسح خفين و هذي بعض
Diantara hadits mutawatir adalah barangsiapa berdusta
dan barangsiapa membangun masjid dengan ikhlas
Juga hadits tentang syafaat melihat Allah diakherat, telaga
dan mengusap sepatu. Inipun baru sebagian.
c. Faedah dari dua jenis muttawattir ini:
  1. Ilmu, yaitu memastikan benarnya penisbatan hadits ini kepada yang dinukil darinya.
  2. Berkewajiban mengamalkan kandungan hadits dengan mempercayainya jika berupa khobar dan menerapkannya jika berupa tuntutan.

Sunday 22 July 2012

Risalah Ramadhan(12): Amalan hebat bagi yang tidak bisa i'tikaf


Setiap kali memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW senantiasa beri'tikaf di dalam masjid. Beliau meninggalkan semua pekerjaan duniawi dan menyibukkan diri dalam ibadah mahdhah. Seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya dicurahkan untuk taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau juga melibatkan anak dan istri-istri beliau dalam kekhusyu'an ibadah.
I'tikaf selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah amal kebajikan yang senantiasa dijaga oleh Rasulullah SAW. Pada tahun beliau wafat, beliau bahkan beri'tikaf selama dua puluh hari. Tidak heran apabila para ulama menjelaskan bahwa hokum I'tikaf adalah sunnah muakkadah. I'tikaf sudah semestinya menjadi amalan andalan orang-orang shalih, sebagai satu sarana utama untuk meraih lailatul qadar.
Dari Aisyah RA berkata: "Nabi SAW senantiasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, sampai Allah SWT mewafatkan beliau. Sepeninggal beliau, istri-istri beliau juga melakukan I'tikaf."(HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
Dari Abu Hurairah RA berkata: "Dalam setiap bulan Ramadhan, Nabi SAW melakukan I'tikaf selama sepuluh hari. Namun pada tahun kewafatannya, beliau SAW melakukan I'tikaf selama dua puluh hari." (HR. Bukhari no. 2044)
Banyak kaum muslimin yang telah mengetahui kesunahan dan keutamaan I'tikaf. Mereka juga memiliki niat yang tulus untuk melakukannya. Hanya saja, berbagai kendala menghalangi mereka dari I'tikaf. Ada yang harus bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Ada yang harus pergi kesana kemari untuk mengajar dan berdakwah. Ada yang harus masuk sekolah. Ada yang sakit keras atau bepergian jauh. Ada yang memanggul senjata di medan ribath dan jihad. Dan kendala-kendala lainnya.
Islam adalah agama yang mudah dan memberi kemudahan kepada umatnya. I'tikaf di masjid memang sunah muakkadah yang sangat efektif untuk taqarrub dan meraih lailatul qadar. Sungguh beruntung dan berbahagialah orang yang mampu melakukannya. Namun bagi orang-orang yang tidak mampu beri'tikaf karena ada udzur syar'i, Islam juga telah memberi banyak alternatif amalan yang tak kalah keutamaannya dari I'tikaf. Gerangan apa sajakah amalan alternatif tersebut? Berikut ini sebagian di antaranya.
Pertama, menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang yang beri'tikaf.
Jika kita menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang yang melakukan shaum dan I'tikaf, niscaya kita akan mendapatkan pahala yang sama dengan pahala shaum dan I'tikafnya. Berdasar hadits shahih,
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani RA dari Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang yang melakukan shaum, maka baginya seperti pahala orang yang shaum, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang shaum." (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, Ahmad, dan Ibnu Hibban. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih)
Kedua, memenuhi kebutuhan sesama muslim yang mengalami kesulitan hidup.
Banyak saudara kita, umat Islam, yang lemah dan miskin. Mereka kekurangan makanan, kehilangan tempat tinggal atau pekerjaan, sakit keras namun tidak mampu berobat, dan mengalami kesusahan lainnya. Menolong mereka dengan memenuhi kebutuhan mereka adalah amal kebajikan yang pahalanya begitu besar. Pahalanya bahkan lebih utama dari I'tikaf selama sebulan penuh. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits,
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah SWT? Dan apakah amalan yang paling dicintai Allah SWT?" Beliau SAW menjawab, "Orang yang paling dicintai Allah adalah  orang yang paling memberi manfaat kepada sesama manusia. Adapun amalan yang paling dicintai Allah SWT adalah engkau menggembirakan hati seorang muslim, atau engkau menghilangkan sebuah kesulitan hidupnya, atau engkau melunaskan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya.Sungguh aku berjalan untuk memenuhi kebutuhan seorang saudara muslim lebih aku senangi daripada aku beri'tikaf di masjid Madinah ini (masjid Nabawi) selama satu bulan penuh." (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Qadha-u Hawaij no. 36, Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Awsath no. 6204, Al-Mu'jam Ash-Shaghir no. 862, dan Al-Mu'jam Al-Kabir no. 13472. Dinyatakan hasan li-ghairih dalam tahqiq Al-Mu'jam Al-Kabir dan Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 2623. Dinyatakan shahih li-ghairih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906)
Ketiga, memanggul senjata dalam ibadah ribath, yaitu berjaga-jaga di daerah perbatasan kaum muslimin dengan daerah musuh, untuk menjaga keamanan kaum muslimin dari serangan musuh-musuh Islam.
Berbahagialah kaum muslimin yang berjihad di Afghanistan, Pakistan, Kashmir, Chechnya, Dagestan, Irak, Palestina, Yaman, Somalia, Tajikistan, dan tempat-tempat lainnya. Kaum muslimin yang lain merasakan ketenangan suasana tarawih, witir, tadarus Al-Qur'an, dan i'tikaf. Pada saat yang sama, mujahidin harus senantiasa memeluk erat senjatanya dan berjaga setiap saat. Mereka melalui waktu mereka dalam ribath dan jihad demi menegakkan syariat Allah dan membela kaum muslimin dari tentara Yahudi, Nashrani, musyrikin, dan murtadin.
Demikian beratnya tugas mereka, sehingga nyawa mereka setiap saat menjadi taruhannya. Allah Yang Maha Pemurah menilai setiap malam yang mereka lalui dalam ribath dan jihad tersebut sebagai malam yang lebih baik dari lailatul qadar. Allahu Akbar wa lillahi al-hamdu! Sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Nabi SAW bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian satu malam yang lebih utama dari lailatul qadar? Itulah (malam yang dilalui oleh) seorang (mujahid) yang berjaga di daerah (perbatasan dengan daerah musuh) yang ditakuti. Boleh jadi, dengan berjaga itu ia tidak bisa kembali kepada keluarganya lagi." (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 18962, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7637, Al-Hakim no. 2382, dan Al-Baihaqi no.16918. Dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2811)
Inilah sebagian amalan hebat yang selayaknya menjadi andalan bagi setiap muslim yang belum mampu melaksanakan sunah Nabi SAW; i'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Semoga Allah SWT memberi taufiq kita semua kepada semua ucapan dan amalan yang Allah cintai dan ridhai. Amien.
Wallahu a'lam bish-shawab
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #12
Oleh:
 Muhib al-Majdi

Risalah Ramadhan(11): Resep Sang Juara


Dalam lari jarak menengah atau lari marathon, seorang atlit akan memulai start dengan kecepatan sedang, tidak cepat juga tidak lambat. Ia akan menjaga kestabilan larinya sehingga tetap berada di muka tanpa harus kehabisan tenaga. Begitu memasuki tahap terakhir, ia akan berlari kencang sehingga bisa menggapai garis finis paling awal. Ia tidak akan berlari kencang di tahap awal dan pertengahan lomba. Sebab, tindakan itu akan memforsir tenaga sehingga ia justru kelelahan dan lambat menjelang garis finis.
Bulan Ramadhan adalah bulan perlombaan, yaitu musabaqah fil khairat. Bulan suci yang penuh berkah ini melombakan banyak cabang amal kebajikan; shalat lima waktu secara berjama'ah di masjid, shaum Ramadhan, shalat tarawih dan witir, tadarus Al-Qur'an, sedekah sunah, silaturahmi, thalabul ilmi, dakwah, umrah Ramadhan, i'tikaf, dan lain-lain Setiap muslim boleh mengikuti sebanyak mungkin cabang amal kebajikan, selama ia memenuhi syarat-syaratnya dan mampu melakukannya.
Dari segi kwantitas, setiap muslim dituntut untuk berlomba dengan sesama muslim untuk mampu mengikuti sebanyak mungkin cabang amal kebajikan. Adapun dari segi kwalitas, setiap muslim mesti berlomba dengan sesama muslim yang lain agar amalnya paling ikhlas dan paling sesuai sunnah Rasulullah SAW. Selama satu bulan penuh, setiap muslim dituntut untuk menampilkan performa terbaiknya. Tidak boleh ada istilah menyerah, mengalah, terlalu lelah, dan bosan. Setiap muslim diwajibkan menggapai garis finis dengan husnul khatimah.
Secara teori, boleh jadi sebagian besar kita telah mengetahuinya. Lalu bagaimana dengan prakteknya? Dalam hal ini, kita mau tidak mau harus mengakui masih jauh panggang dari api. Praktek kita masih sering bertolak belakang dengan teori yang sudah kita ketahui. Kita sering kali berlari terlalu kencang di awal Ramadhan bak seorang sprinter. Lalu di pertengahan Ramadhan kita kelelahan atau kehabisan tenaga. Dan di akhir Ramadhan, kita bahkan tak ingat lagi dengan perlombaan. Kita justru disibukkan dengan urusan mudik, THR, pakaian baru, aneka makanan untuk lebaran, dan lain sebagainya. Entahlah, apakah kita masih bisa disebut menggapai garis finis? Yang jelas, kita tidak naik ke podium sebagai sang juara.
Rasulullah SAW sejak pertama kali disyaritkan shaum Ramadhan telah memberi tauladan bagaimana cara memaksimalkan bulan penuh berkah ini. Pada sepuluh hari terakhir, beliau SAW 'berlari' begitu kencang. Segenap waktu, pikiran, dan tenaganya dikonsentrasikan untuk menggapai 'finis' yang terbaik. Beliau SAW meninggalkan seluruh urusan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah. Beliau secara total bertaqarrub kepada Allah SWT. Semua bentuk ibadah ditingkatkan, baik secara kwalitas maupun kwantitas, Semua itu demi meraih predikat juara, yaitu takwa di sisi Rabb SWT.
Dari Aisyah RA ia berkata: "Jika telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka Rasulullah SAW menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dalam ibadah, dan mengencangkan sarungnya." (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)
Dari Aisyah RA ia berkata: "Kebiasaan Rasulullah SAW adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan Ramadhan melebihi ibadah beliau dalam bulan-bulan lainnya. Dan beliua juga bersungguh-sungguh ibadah dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan melebihi kesungguhan ibadah pada hari-hari Ramadhan yang lain." (HR. Muslim no. 1175)
Kesungguhan ibadah Nabi SAW dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan melebihi kesungguhan ibadah beliau pada dua puluh hari pertama Ramadhan. Aktifitas ibadah beliau digambarkan oleh hadits di atas adalah
  1. Menghidupkan malamnya, yaitu mempergunakan seluruh atau sebagian besar waktu malam dalam ibadah. Terutama sekali adalah melakukan shalat tarawih dan witir serta membaca Al-Qur'an. Pada malam selain Ramadhan, shahabat Hudzaifah bin Yaman RA pernah bermakmum shalat malam kepada Rasulullah SAW. Dalam satu raka'at shalat malam tersebut, beliau SAW membaca tiga surat sekaligus; Al-Baqarah, An-Nisa', dan Ali Imran. Artinya, dalam satu raka'at beliau SAW membaca 5 juz lebih (HR. Muslim no. 772). Shahabat Ibnu Mas'ud pernah bermakmum shalat malam kepada Rasulullah SAW di luar bulan Ramadhan. Begitu lama dan panjangnya shalat beliau SAW, sampai-sampai Ibnu Mas'ud berniat duduk dan meninggalkan Rasulullah SAW shalat sendirian (HR. Bukhari 1135 dan Muslim no. 773). Demikian kesungguhan shalat malam (tahajud dan witir) beliau SAW di luar Ramadhan. Maka bagaimana lagi dengan kesungguhan shalat malam (tarawih dan witir) beliau SAW di bulan Ramadhan? Terlebih lagi dengan sepuluh hari terakhir Ramadhan?
  2. Membangunkan keluarganya, yaitu membangunkan istri-istri beliau SAW untuk melakukan shalat tarawih dan witir. Di luar bulan Ramadhan, beliau SAW biasanya membangunkan istrinya 'hanya' untuk shalat witir sebelum waktu Shubuh, seperti yang biasa beliau lakukan terhadap Aisyah RA (HR. Bukhari no. 512 dan Muslim no. 512)  
  3. Bersungguh-sungguh dalam ibadah. Tentunya shalat tarawih dan witirnya lebih lama, bacaan Al-Qur'annya lebih banyak, dzikir dan istighfar diperbanyak, muhasabah diri lebih banyak. Dan seterusnya.
  4. Mengencangkan sarungnya. Mengenai maksud dari 'mengencangkan sarungnya', imam An-Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama. Sebagian ulama menyebutkan maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi kesungguhan ibadah pada waktu-waktu yang lain. Sebagian ulama menjelaskan maksudnya adalah mencurahkan tenaga dan konsentrasi untuk beribadah semata. Sebagian lainnya menyatakan hal itu adalah bahasa kiasan atas sikap tidak menggauli istri (pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan) agar bisa totalitas dalam ibadah. (Shahih Muslim bi-Syarh An-Nawawi, 4/282 dan Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/248)
Kesungguhan ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini memiliki banyak hikmah. Salah satunya adalah bisa melakukan I'tikaf dan mencari lailatul qadar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut,
Dari Aisyah RA ia berkata: "Rasulullah SAW senantiasa beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, "Bersungguh-sungguhlah kalian mencari lailatul qadar pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan." (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)
Di antara hikmah lainnya adalah bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu ibadah yang istimewa, sebelum bulan istimewa ini benar-benar berlalu. Dengan demikian, ibadah di bulan suci ini bisa diakhiri dengan husnul khatimah. Bagaimanapun juga, sang juara ditentukan di garis finis. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW,
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung bagaimana dengan penutupannya (bagaimana ia diakhiri)." (HR. Bukhari no. 6607)
Saudaraku…
Kita belum terlambat. Perlombaan sesungguhnya akan kembali dimulai. Bersiaplah…ambil ancang-ancang…lari sekencang-kencangnya…tataplah garis finis…bertekadlah menjadi 'juara' agar Allah SWT menyerahkan tropi 'takwa' kepada kita semua. Amien.
Wallahu a'lam bish-shawab
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #11
Oleh:
 Muhib al-Majdi

Thursday 19 July 2012

Bermaafan Sebelum Ramadhan (?)

Kali ini akan kita bahas mengenai sebuah tradisi yang banyak dilestarikan oleh masyarakat, terutama di kalangan aktifis da’wah yang beramal tanpa didasari ilmu, tradisi tersebut adalah tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan. Ya, saya katakan demikian karena tradisi ini pun pertama kali saya kenal dari para aktifis da’wah kampus dahulu, dan ketika itu saya amati banyak masyarakat awam malah tidak tahu tradisi ini. Dengan kata lain, bisa jadi tradisi ini disebarluaskan oleh mereka para aktifis da’wah yang kurang mengilmu apa yang mereka da’wahkan bukan disebarluaskan oleh masyarakat awam. Dan perlu diketahui, bahwa tradisi ini tidak pernah diajarkan oleh Islam.

Mereka yang melestarikan tradisi ini beralasan dengan hadits yang terjemahannya sebagai berikut:
Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.

Do’a Malaikat Jibril itu adalah:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:


1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.


Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadits. Setelah dicari, hadits ini pun tidak ada di kitab-kitab hadits. Setelah berusaha mencari-cari lagi, saya menemukan ada orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254). Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:

Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.

Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679).
Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.

Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)

Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,


Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.

Wallahu’alam.

Penulis: Yulian Purnama