Di antara contoh tradisi penyambutan bulan Ramadhan yang populer di tengah masyarakat padahal tidak memiliki landasan syar’i yang shahih adalah tradisi-tradisi berikut ini:
Pertama: Padusan dan Balimau
Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Dengan demikian secara sederhana padusan dapat diartikan laku atau tindakan mandi dengan maksud penyucian diri agar dapat menjalani peribadahan di bulan suci Ramadhan dalam kondisi suci. Dengan keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan peribadahan untuk mencapai ketaqwaan akan lebih terkondisi dengan lebih baik.
Padusan dilakukan dengan adus kramas, mandi besar, untuk menghilangkan hadast besar dan kecil. Pada awalnya, padusan dapat dilakukan dimanapun dengan menggunakan air suci dan yang menyucikan. Dengan demikian tidaklah perlu untuk melakukan padusan harus di suatu belik atau sumber air tertentu, harus memakai air tujuh rupa, air tujuh sumber dll.
Adapun sebagian besar masyarakat padang menyambut datangnya ramadhan dengan melakukan acara “BALIMAU”. Balimau yang dalam bahasa Minang berarti mandi dengan disertai keramas merupakan salah satu tradisi yang selalu hadir mewarnai datangnya bulan puasa.
Sebagian besar masyarakat terutama kaum muda-mudi melakukan tradisi ini dengan mandi di pemandian umum, sungai dan danau. Semua berbaur, baik muda maupun mudi, dewasa maupun anak-anak. Salah satu tempat BALIMAU yang paling ramai dikunjungi masyarakat di kota Padang adalah kawasan pemandian Lubuk Minturun
Dalam perkembangannya saat ini, tradisi ini telah dilakukan oleh banyak kaum muslimin secara salah kaprah. Terjadi berbagai kemungkaran serius dalam melakukan tradisi ini, antara lain:
Meyakini padusan sebagai sebuah kewajiban agama yang harus dilakukan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Padahal tidak ada dalil syar’i dari Al-Qur’an, hadits Nabi SAW, dan contoh dari para shahabat yang menyebutkan tradisi padusan sebagai amal ibadah yang mesti dilakukan di akhir bulan Sya’ban. Hal ini bisa berakibat fatal, menganggap tradisi lokal yang notabenenya bukan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam.
Meyakini bahwa tanpa melakukan laku padusan, persiapan lahir dan batin untuk memasuki bulan Ramadhan tidak sempurna sehingga timbul keragu-raguan dan kekhawatiran yang tidak berdasar dalil dalam menjalani amal shalih di bulan Ramadhan.
Banyak orang yang meyakini bahwa padusan harus dilakukan di tempat yang wingit, angker ataupun bertuah. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak bersifat gugon tuhon semata. Akhirnya, tradisi lokal ini dirasuki oleh unsur khurafat dan rawan mengarah kepada syirik.
Orientasi materi sangat kuat terasa dalam pelaksanaan tradisi ini, di mana banyak pihak mengembangkannya menjadi obyek wisata dan sumber pendapatan. Banyak pemda, pengusaha dan masyarakat biasa yang melestarikan dan memolesnya lebih cantik untuk menarik wisatawan sebanyak mungkin. Tarif retribusi, sarana angkutan, hotel/tempat penginapan, tempat pemandian, tempat parkir, toko souvenir, atraksi kesenian, dan lainnya membuat mereka menangguk untung besar. Masyarakat yang melakukan tradisi ini rela menghamburkan rejekinya untuk hal itu. Bahkan, banyak sekali wisatawan yang datang dari jauh (Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain) yang rela melakukan padusan di tempat yang sangat jauh lagi memakan biaya, seperti di pantai-pantai Bantul dan Gunung Kidul. Jelas biaya ini adalah tabdzir yang diharamkan, yaitu membelanjakan harta dalam perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh syariat.
Masyarakat berbondong-bondong melakukan padusan massal berbau wisata dan maksiat di tempat-tempat umum seperti umbul, telaga, kolam renang, pantai, dan lokasi-lokasi lain yang bisa digunakan umum untuk mandi bersama. Pemandian Pengging di Boyolali dan Cokrotulung di Klaten, pantai Parangtritis dan lokasi-lokasi pemandian di kawasan Bantul, Gunung Kidul, Magelang, Temanggung, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan lain-lain penuh dengan laki-laki dan perempuan, tua dan muda,yang bukan mahram, yang berenang, mandi, telanjang bulat, dan membuka (baca:mempertontonkan aurat) di muka umum. Ini merupakan kemungkaran besar yang melicinkan jalan bagi perzinahan.
Dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda: “Telah ditulis bagi manusia bagian dari dosa zina, dan ia tidak bisa menghindarinya. Zina kedua mata adalah dengan melihat (hal yang diharamkan syariat untuk dilihat). Zina kedua telinga adalah mendengarkan (hal yang diharamkan oleh syariat untuk didengar). Zina lisan adalah dengan berbicara (hal yang diharamkan untuk dibicarakan). Zina tangan adalah dengan memegang (hal yang diharamkan untuk dipegang). Zina kaki adalah dengan melangkah (ke arah yang diharamkan). Zina hati adalah dengan berangan-angan dan menginginkan (hal yang diharamkan). Sedangkan kemaluan akan merealisasikannya atau membatalkannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657, dengan lafal Muslim).
Kedua: Meugang atau Megengan
Di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian Selatan dikenal luas tradisi megengan, yaitu kendurian dengan memotong ayam atau kambing sehari sebelum masuk bulan Ramadhan dengan tujuan bersyukur kepada Allah SWT dan sedekah kepada kaum fakir miskin. Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) atau yang akrab disebut dengan kota “Serambi Mekah”, warganya menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan menyembelih kambing atau kerbau. Tradisi ini disebut “Meugang”, konon kabarnya tradisi “Meugang” sudah ada sejak tahun 1400 Masehi, atau sejak jaman raja-raja Aceh.
Tradisi “meugang” merupakan kegiatan kekeluargaan. Pada hari itu, semua keluarga dekat berkumpul di rumah orangtua sambil menikmati masakan daging yang disediakan. Anak cucu menyisihkan waktu untuk pulang ke rumah orangtua atau mertua di hari ‘meugang’ seperti ini.
Tradisi ini dalam praktiknya juga mengandung beberapa kemungkaran, seperti:
Meyakini bahwa tradisi adalah suatu acara selamatan yang harus dikerjakan, sehingga orang yang tidak melakukannya dianggap menentang adat istiadat, meninggalkan tradisi luhur nenek moyang, dan bisa terkena bencana. Tidak jarang orang yang tidak melakukannya dikucilkan oleh masyarakat. Padahal sama sekali syariat Islam tidak menganjurkan apalagi mewajibkan tradisi ini. Bahkan, tradisi ini hanya dikenal di beberapa daerah pesisir selatan Jawa yang kental dengan aliran kejawen dan kebatinannya. Sementara daerah-daerah muslim yang lain tidak mengenalnya. Tidak ada dalil syar’I dari Al-Qur’an, hadits Nabi SAW, atau contoh dari generasi shahabat yang menganjurkan atau mewajibkan tradisi ini.
Bersyukur kepada Allah SWT dan bersedekah kepada kaum fakir miskin diperintahkan oleh Islam kapan pun dan di manapun. Namun Islam tidak memberi persyaratan harus menyembelih ayam, kambing, sapi, atau kerbau pada hari terakhir bulan Sya’ban. Persyaratan-persyaratan yang berasal dari tradisi lokal seperti ini justru mempersempit tatacara syukur dan sedekah yang telah diajarkan oleh Islam secara luas sesuai kemampuan kaum muslimin.
Pada hari pelaksanaan tradisi ini, semua keluarga menyembelih hewan sembelihan dan mengadakan acara kendurian untuk dibagi-bagikan kepada tetangga, kerabat, dan kaum miskin. Tujuan sedekah untuk memberi santunan kepada orang yang membutuhkan justru tidak tercapai, karena semua keluarga telah memiliki makanan dan lauk pauk yang layak, bahkan mendapat makanan dan lauk pauk serupa dari para tetangga. Banyak makanan dan lauk pauk yang akhirnya terbuang dan tidak termakan karena jumlahnya yang berlebihan. Walhasil, yang terjadi adalah tabdzir, pemborosan yang dilarang oleh agama.
Keluarga yang miskin memaksakan diri untuk mengadakan acara kendurian ini, kerabat dan sanak saudara yang miskin dan tinggal di daerah yang jauh juga terpaksa pulang kampung, walau untuk itu harus berhutang kesana-kemari. Ini jelas takalluf, tindakan memaksakan diri di luar kemampuan. Islam melarang umatnya dari melakukan takalluf, terlebih dalam amalan yang tidak ada landasan dalil syar’inya yang shahih.
Allah SWT berfirman:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’ (17): 26-27)
Ketiga: Bermaaf-maafan
Di masyarakat kita berkembang tradisi bermaaf-maafan pada hari terakhir bulan Sya’ban, dengan tujuan memasuki bulan suci Ramadhan dalam keadaan kosong, yaitu bersih dari segala dosa dan kesalahan kepada sesama manusia. “Mohon maaf lahir-batin” atau “sama-sama kosong ya” sudah biasa mereka ucapkan kepada sesama muslim.
Meminta maaf dan memberi maaf kepada sesama muslim adalah hal yang diperintahkan dalam Islam. Namun meyakini tradisi maaf-maafan sebagai ritual yang mesti dilakukan sehari sebelum tiba bulan Ramadhan demi menggapai kesempurnaan ibadah di bulan suci Ramadhan adalah keyakinan yang keliru dan mempersempit keluasan ajaran Islam.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk meminta ampunan kepada Allah dan meminta maaf kepada sesama manusia setiap kali melakukan sebuah dosa dan kesalahan. Meminta ampunan Allah adalah dengan istighfar, taubat nashuha, dan shalat taubah. Meminta maaf kepada sesama manusia adalah dengan mengakui kesalahan kita kepadanya, meminta maafnya, dan mengembalikan haknya yang kita ambil secara zalim dan curang.
Meminta ampunan Allah dan maaf manusia selayaknya dilakukan setiap kali kita berbuat dosa, tidak perlu ditunda-tunda. Makin cepat makin baik, sebab boleh jadi kita lupa, sakit, atau mati sebelum sempat meminta ampunan dan maaf. Akibatnya, kita mati dengan membawa dosa kezaliman. Maka tidak selayaknya kita menabung dosa dan kesalahan selama satu tahun penuh, lalu baru meminta ampunan Allah dan maaf manusia pada hari terakhir bulan Sya’ban atau hari idul fithri!
Allah berfirman,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (QS. Ali Imran (3): 135)
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ (4): 17)
Keempat: Nyadran
Nyadran, tradisi yang biasa dilakukan menjelang bulan puasa. Tradisi berziarah ke makam leluhur ini sudah dilakukan sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa sejak zaman dahulu hingga sekarang.Nyadran atau sadranan berasal dari bahasa Jawa yang artinya berziarah. Pada mulanya nyadran dilakukan ke makam tokoh masyarakat yang sangat dihormati maupun nenek moyang keturunannya. Namun kini, beberapa masyarakat hanya berziarah ke makam famili atau sanak saudaranya.
Dalam prosesi nyadran biasanya para peziarah membawa tiga jenis bunga. Bunga kantil, kenanga dan mawar. Setiap bunga memiliki makna tersendiri. Kantil agar hati peziarah terkait dengan orang yang sudah meninggal. Kenanga sebagai tanda agar semua kenangan selalu diingat. Dan terakhir mawar sebagai permohonan agar dosa arwah dihapus.
Para peziarah juga membakar kemenyan. Membakar kemenyan dianggap sebuah simbol keagungan. Asap kemenyan yang membumbung ke atas diyakini sebagai sebuah perumpamaan doa peziarah ke atas sehingga menghubungkan diri kepada Tuhan. Itu adalah simbol perjalanan doa peziarah supaya bisa diterima.
Selain tiga bunga tadi, biasanya prosesi nyadran diwarnai beberapa makanan sebagai sesajen yakni apem dan ketan. Kedua makanan ini juga memiliki makna tersendiri.
Ketan adalah simbol untuk merekatkan hubungan persaudaraan (ketan:ikatan). Semua orang datang bersama-sama dan merapatkan garis sosial. Sementara apem supaya mereka diampuni (apem:afwun;ampunan). Setelah diampuni dosanya kemudian merekatkan hubungan saudara maka peziarah akan ingat kepada Tuhan. Acara Nyadran akan berakhir dengan makan bersama, dengan saling menukarkan makanan yang dibawa setiap keluarga. Budayawan Jawa, Suwardi Endraswara, menambahkan tradisi ini biasa dilakukan oleh orang Jawa yang masih puritan atau asli yang masih menganut paham kejawen.
Tak diragukan lagi bahwa berziarah ke kuburan orang tua dan kerabat termasuk ajaran Islam. Islam menganjurkan umatnya untuk banyak-banyak mengingat kematian, dan ziarah kubur merupakan sarana yang efektif untuk mengingat kehidupan akhirat. Meski demikian, tatacara ziarah kubur dalam tradisi nyadran kental dengan nuansa ajaran kebatinan dan kejawen. Perbedaan mendasar ziarah kubur dalam Islam dengan tradisi nyadran adalah sebagai berikut:
- Nyadran hanya dilakukan pada bulan Sya’ban, terutama sekali di akhir Sya’ban. Adapun ziarah kubur dalam Islam dianjurkan dalam semua bulan dalam satu tahun, tidak ada pengkhususan atau keutamaan khusus pada bulan Sya’ban semata.
Nyadran dipersyaratkan membawa bunga Kantil, Kenanga, dan Mawar, sesajen berupa apem dan ketan, serta membakar kemenyan. Simbolisasi seperti ini adalah warisan agama Hindu dan kejawen. Adapun Islam sama sekali tidak memerintahkan umatnya membawa bunga, sesajen, dan kemenyan dalam ziarah kubur. Menurut Islam, orang yang telah mati tidak membutuhkan bunga, sesajen atau kemenyan. Kebutuhannya adalah doa dari anak yang shalih dan kaum muslimin.
Proses nyadran meliputi menabur tiga jenis bunga, memberikan sesajen, membakar kemenyan, doa dan makan bersama. Adapun proses ziarah kubur dalam Islam adalah berdoa ketika masuk areal makam (arti doanya:Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kalian wahai penduduk kuburan, dari kalangan muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat. Insya Allah, kami akan menyusul kalian. Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk diri kami dan diri kalian), mendoakan orang yang telah mati, dan mengambil pelajaran agar senantiasa ingat dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Tidak ada makan-makan bersama atau tukar-menukar makanan.
Proses nyadran mengaitkan dikabulkannya doa dengan tiga jenis bunga, sesajen, dan kemenyan. Adapun Islam mengaitkan terkabulnya doa dengan waktu-waktu, tempat-tempat, keadaan-keadaan, dan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Tiga jenis bunga, dua makanan sesajen, kemenyan, dan kuburan bukanlah unsur-unsur yang menyebabkan terkabulnya doa.
Proses nyadran rawan menimbulkan bid’ah (meyakini doa di kuburan lebih mustajab) dan syirik (meyakini orang yang mati bisa mengabulkan permohonan orang yang hidup), melalaikan dari kehidupan akhirat (ramai-ramai makan dan tukar-menukar makanan, disertai canda-ria, dan campur baur laki-laki dengan wanita yang bukan mahram), dan tabdzir (mengeluarkan biaya tinggi untuk masakan yang sebenarnya kurang dibutuhkan). Hal-hal mungkar seperti ini tidak terdapat dalam ziarah kubur yang sesuai dengan syariat Islam.
Akhirnya…
Menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan dengan jiwa yang suci, jasmani yang sehat dan bersih, dan perasaan gembira adalah bagian dari keimanan dan keislaman. Sebagaimana firman Allah SWT,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. A-Hajj (22): 32)
Namun sudah selayaknya tata cara penyambutan Ramadhan dilakukan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Bukan hanya dengan mengikuti tradisi, budaya, atau latah mengikuti prilaku kebanyakan manusia yang sebenarnya tidak mengenal ajaran Islam dengan baik. Beberapa waktu yang lalu, situs arrahmah.com telah menurunkan sebuah tulisan tentang langkah-langkah persiapan menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Semoga kita bisa melaksanakannya sehingga tidak terjebak dalam arus tradisi yang populer namun kurang tepat. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tuesday, 2 August 2011
Risalah Ramadhan(1): Beberapa tradisi yang keliru dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment