Saturday, 2 February 2013

Islam di Selatan Negeri Hitler



Penulis: Alfian Ferdiansyah


Freiburg  terletak di selatan Jerman, negara bagian Baden-Württemberg, sangat dekat dengan Swiss dan Perancis. Menurut pengakuan banyak orang di Jerman, Freiburg merupakan green city yang  indah, kecil, dan salah satu yang terhangat di Jerman. Juga dikenal sebagai kota yang paling perhatian terhadap masalah energi, tidak heran aplikasi tenaga sel surya di sini pada perumahan menjadi  percontohan untuk kota lainnya di Jerman.

Sebelum datang ke kota ini, terlebih dahulu saya mencari informasi kehidupan di sini, sebagai seorang muslim tentu tidak jauh dari kemudahanan menjalankan islam, masjid dan makanan. Alhamdulillah di kota ini pun ada komunitas muslim yang berasal dari Indonesia, baik itu yang sedang sekolah maupun yang memang mencari rezeki di sini. Mereka pun aktif dalam mengadakan kegiatan pengajian bulanan, setiap hari raya Islam diadakan perkumpulan, masak dan makan bersama.

Tempat Tinggal
Dalam hal ini kami mengenal istilah Wohngemeinschaft (WG) dan Wohnung (apartemen). Sederhanya WG bisa diartikan sebagai flat share , sehingga dalam satu lantai ada 6-8 kamar dengan satu dapur besar dan beberapa kamar mandi dipakai bersama, tidak membedakan jenis baik itu laki-laki atau perempuan. Umumnya mahasiswa di kota ini memilih untuk tinggal dengan cara seperti ini, selain murah juga bisa melatih kemampuan bahasa Jerman. Namun bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaaan lebih privat bisa beralih ke Wohnung atau apartemen. Pada masa awal kedatangan, sebelum pindah ke Wohnung, saya pernah satu bulan tinggal di WG. Tentu ada positif dan negatifnya.

Saya melihat etos kerja mahasiswa di sini dari Senin sampai Jum’at, mereka belajar keras dan giat, serta banyak kegiatan kampus, yang mendukung bakat dan minat, mungkin kita kenal dengan ekstrakurikuler.  Namun ketika Jum‘at sore tiba, mereka melepas semua atribut kesibukan kuliah kemudian berpesta pada Jum‘at dan Sabtu malam. Bahkan jangan heran bagi yang tinggal di asrama mahasiswa akan mendengar dentuman musik keras hingga Shubuh di hari Minggu. Laa hawla walaa quwwata illa billah ….
Untuk menyiasati agar tidak kedapatan memasak bersama mahasiswi yang tentu kita tidak bisa mengharapkan mereka berbusana yang layak sesuai agama kita, saya memasak  pada waktu subuh atau agak larut sekitar jam 10 malam.  Pada waktu-waktu itu mereka belum bangun dari tidur atau sebaliknya (mereka sudah tidur).

Masjid dan Makanan
Bahan makanan halal dapat dengan mudah kita temui di toko (Halal Shop) sekitar masjid. Freiburg memiliki dua masjid yang dapat dikatakan cukup besar. Kami menyebutnya masjid Turki (Islamiches Centrum Freiburg) dan Masjid Arab (Islamische Union Deutschland). Kedua masjid di sini berbeda dengan apa yang umumnya saya temui di Indonesia, pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan, tanpa kubah, apalagi menara. Saya jadi teringat kembali pertanyaan beberapa teman bagaimana rasanya hidup di Freiburg, saya katakan kepada mereka,  “Seenak apapun di negeri orang, negeri muslim lebih nyaman, karena Anda bisa syiar tanpa rasa takut! Dan gaung toleransi ada ketika Islam menjadi mayoritas, namun ketika islam menjadi minoritas, jarang sekali toleransi ini muncul.“

Masjid Turki sangat ramai, karena lebih dekat dengan pusat kota. Ikhwah di masjid ini mayoritas menggunakan bahasa Jerman dan Turki tentunya. Terdiri dari jamaah majemuk yang datang dari berbagai macam bangsa. Juga bercampur Islam dengan madzahibnya, bahkan ada beberapa yang terang-teranganan tarikat. Sedangkan Masjid Arab, sesuai namanya mayoritas jamaah di sini berasal dari Tunisia, Aljazair, Maroko, Mesir, Sudan, Somalia dan Palestina. Melihat komposisi ini sudah pasti bahasa Arab menjadi bahasa nomor satu di masjid ini, dan Jerman nomor dua.

Tentang masjid ini, ada pengalaman menarik ketika masa awal kedatangan saya di Freiburg. Biasanya ketika mereka melihat orang asing mereka menyapa dengan bahasa Jerman, “Brüder..wie geht’s?“ (Akhiy..apa kabar?“) saya jawab dengan bahasa arab seadanya “Bikhoyr alhamdulillah“. Kemudian beralih ke percakapan selanjutnya dengan kemampuan bahasa arab saya secara terbata-bata. Mereka sangat senang sekali bisa mendapat saudara baru dan mau berbicara dengan bahasa arab. Pada hari itu kebetulan bertepatan dengan hari Arofah, ketika waktu ifthar tiba, kami berbuka bersama, mereka menjamu saya dengan luar biasa. Dalam budaya betawi mungkin ini yang dikatakan, “Minum dituangin, sayur disendokin, nasi dicentongin!“  Bahkan hingga saat ini jika saya ke masjid, mereka menyambut dengan sangat ramah.
Masjid Arab ini lebih nyaman di hati saya, lebih dekat kepada Sunnah.  Sebagai contoh, tentang perbedaan menyikapi hari Arofah, obrolan ringan yang saya tangkap sekilas sambil berlalu di antara tiga pemuda muslim Jerman ‚“Mein Brüder, Syaik Utsaimin hat gesagt….“ (ya akhiy…Syaikh Utsaimin berkata….)..Masya Allah..

Idul Adha kemarin sangat berkesan, hari itu kami tidak libur seperti di indonesia.  Namun, seluruh muslim dari penjuru kota berbaur naik tram dari arah manapun, transit di tengah kota dengan tujuan yang sama, Masjid. Dalam gerbong tram, kami bisa tahu sama tahu, tanpa saling berkenalan sekalipun, kami sudah bisa menduga siapa saja muslim yang ada di gerbong tersebut. Apalagi ketika melihat banyak wanita berhijab sambil menuntut anak-anak mereka. Rasanya aura sesama muslim sangat terasa di hari itu. Kami saling mengucap salam, jika sedikit dirasa jauh, kami menaruh tangan di dada dan melempar senyum. Terkadang ada benarnya, ketika anda minoritas, maka ukhuwah menjadi sangat terasa.

Budaya dan Keseharian
Selain budaya “ Punktlicht“  (tepat waktu) atau disiplin yang terkenal  dari Jerman, penduduk di kota ini dan Jerman pada umumnya sangat gemar dengan olahraga. Sebuah pemandangan yang amat sering melihat orang, tua dan muda, berlari di taman kota, seputaran danau hingga tengah malam. Semua sarana seperti lapangan dan aula untuk olahraga lengkap dapat ditemukan dengan mudah di sini. Kebetulan saya ikut fitness, selain dekat dengan ” wohnung ” saya, di sini ada jadwal latihan beladiri yang saya gemari.  Selepas fitness dan latihan kami biasa sauna untuk melemaskan otot yang tegang. Tapi sebagai muslim, kita harus perhatian terhadap jadwal. Pastikan bahwa hari itu jadwal sauna hanya untuk laki-laki, sebab umumnya hari Sabtu dan Minggu campur baur antara laki-laki dan perempuan. Pengalaman unik ketika menjajal sauna adalah ketika mereka melihat saya memakai handuk besar yang menutupi pusar sampai dengkul saya. Mereka bertanya kepada saya, “Dari mana asal Anda?” Saya jawab, “Saya dari Indonesia” Mereka
bertanya lagi, “Apakah memakai handuk besar menutupi tubuh seperti ini adalah bagian dari budaya Anda?” Saya jawab ‘’Nicht Kultur, Aber das ist meine Religion!” (Bukan dari budaya, tapi Agama saya)

Penduduk Jerman Selatan umumnya ramah, ketika mereka mendapat penjelasan dengan baik mereka akan mudah legowo dan menghormati. Begitu pun dengan keseharian saya di sini, Profesor serta semua teman laboraturium tempat saya studi pun sudah mengetahui saya muslim. Hal terpenting adalah sejak awal kita harus memposisikan diri kita sebagai muslim. Alhamdulillah sampai saat ini jika ada pertemuan resmi biasanya mereka akan menyediakan makanan dan minumankhusus yang halal bagi saya. Karena halal itu wajib. Mereka sempat heran, karena sebagian teman kuliah mereka yang katanya beragama Islam pun minum wine dan tidak peduli memakan daging apa. Tapi rasa kehati-hatian saya terhadap menu makanan di restoran jika kita sedang makan di luar malah membuat mereka respek. Saya pun pernah berkata kepada teman saya, “Jika cuaca tidak mendukung saya untuk ke masjid, apakah kalian keberatan jika saya shalat di sini (kantor), tidak akan lama bahkan 10 menit pun tidak dan saya hanya membutuhkan space 1 x 0.6 m?” Saya pun memperagakan sebagian gerakan shalat. Mereka mengamati dengan seksama. Mereka tidak menolak, bahkan setiap saya shalat tanpa dikomando mereka mengheningkan suasana. Sejak saat itu mereka sering berani bertanya tentang Islam.  Saya sering diskusi dan menjelaskan hal-hal ringan seputar islam. Dalam benak saya, berarti saya harus banyak belajar lagi agar dapat menjawab rasa ingin tahu mereka! Bismillah.

Dari artikel 'Aku dan Freiburg — Muslim.Or.Id

0 comments:

Post a Comment