Dari Abu Hurairoh radiyallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Akan masuk surga suatu kaum, hati mereka seperti hati burung” (HR. Muslim) maknanya adalah dalam merealisasikan tawakal.
Lantas seperti apa hati burung? Hal ini dijelaskan oleh hadits dari sahabat Umar bin khotob radiyallahu’anhu, bahwasannya beliau mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (shahih Tirmidzi, beliau berkata, ‘hadits hasan sohih)
Mengomentari hadits tersebut, Ibnu Rajab rohimahullah berkata di dalam kitabnya Jami’ul ‘ulum wal Hikam, “Hadits ini adalah dasar atau asas di dalam bertawakal, hal terebut juga merupakan diantara sebab yang paling besar dalam memperoleh rizki,” Oleh karena itu, kita tidak pernah mendengar seekor burung pada pagi hari terbentur dengan masalah rizki, lalu dia benturkan kepalanya ke tiang listrik. Itu tidak terjadi pada burung, tapi pada manusia hal tersebut terjadi dan sering kita dengar di berita atau dia media massa.
Di dalam realitanya, merealisasikan hakikat tawakal di dalam hati kita bukan merupakan perkara yang mudah, dia adalah ibadah hati yang sangat agung, dia merupakan sumber kebaikan. Darinya timbul berbagai macam ibadah hati yang lainnya. Bahkan hakikat agama adalah tawakal dan inabah (kembali kepada Allah). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah : 5) Tawakal adalah isti’anah (minta pertolongan) dan inabah adalah ibadah.
Hilangnya berbagai kebaikan, luputnya kita dari amal yang besar, buruknya ibadah kita – karena tidak hadirnya rasa cinta, harap dan takut – adalah karena masih jauhnya kita dari hakikat tawakal. Bahkan kegelisahan dan ketakutan yang menimpa sebagian kaum muslimin adalah dikarenakan belum hadirnya tawakal di dalam qalbunya.
Berikut ini nukilan kami dari berbagai perkataan ulama tentang definisi dan hakikat tawakal. Mudah-mudah yang sedikit ini–dengan taufik dari Allah- bisa membantu kita merealisasikannya. Amin
Definisi Tawakal
Imam Ibnu Rajab rahimahulloh berkata, “Hakekat tawakal adalah hati benar-benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal yang baik) dan menolak mudhorot (hal-hal yang buruk) dari urusan-urusan dunia dan akherat”
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas yang dilakukan untuk meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.
Bertawakallah Hanya Kepada Allah
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya agar bertawakal hanya kepada-Nya dalam banyak ayat. Diantaranya ayat (yang artinya), “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (Al-Maidah : 23) “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At-Tholaq : 3)
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan masuk surga dari umatku tujuh puluh ribu orang tanpa hisab….mereka adalah orang-orang yang tidak minta ruqyah, tidak menyandarkan kesialan kepada burung dan sejenisnya, tidak berobat dengan besi panas dan mereka bertawakal kepada Rabb mereka” (HR. Muslim)
Tawakal kepada Allah adalah syarat sahnya keislaman dan keimanan seseorang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu benar-benar orang-orang beriman” (Al-Maidah :3) dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Musa berkata, ‘wahai kaumku ! apabila kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kalian kepada-Nya jika kamu benar-benar orang muslim (berserah diri)” (QS. Yunus : 84)
Maka tawakal merupakan ibadah yang sangat agung. tawakal adalah murni ibadah hati, oleh karena itu mengesakan Allah Ta’ala dalam tawakal adalah merupakan kewajiban, dan memalingkannya kepada selain Allah merupakan kesyirikan. Wal’iyadzubillah.
“Sungguh kita tidak bisa terlepas dari-Nya sekejap mata pun. Jika kita bersandar kepada diri sendiri, maka kita telah meyerahkan diri kita kepada kelemahan yang rendah dan serba kurang, khilaf dan kesalahan. Dan jika kita bersandar kepada orang lain maka kita telah mempercayakan diri kepada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan bahaya dan manfaat, serta tidak mampu mematikan dan menghidupkan serta membangkitkan dan mengumpulkan kembali”. Itulah nukilan dari perkataan Ibnul Qayim rahimahullah didalam kitabnya alfawaid. wallahu ‘alam. Maka bertawakallah wahai hamba Allah kepada Dzat yang ditangan-Nya segala urusan dan yang memiliki segalanya.
Bertawakal Kepada Selain Allah
Bertawakal kepada selain Allah ada tiga keadaan :
1) Syirik akbar (besar). Yaitu seorang bertawakal kepada selain Allah Ta’ala dalam perkara yang hanya mampu dilakukan oleh Allah Ta’ala tidak selain-Nya. Contoh : seseorang bertawakal kepada makhluk /wali di dalam memperoleh kebaikan atau bertawakal kepada makhluk dengan hatinya Karena ingin mempunyai anak atau pekerjaan, sedang makhluk tersebut tidak mampu memenuhi keinginannya tersebut.
2) Syirik kecil. Yaitu seseorang bertawakal kepada selain Allah dalam perkara dimana Allah Ta’ala memberikan kemampuan kepada makhluk tersebut untuk memenuhinya. Contoh : seorang istri bertawakal kepada suami dalam kebutuhan hariannya. (peringatan: syirik walaupun kecil, pelakunya tetap diancam neraka hingga ia bertaubat)
3) Boleh. Yaitu seseorang bertawakal kepada selain Allah dalam arti mewakilkan urusannya kepada seseorang tanpa disertai penyandaran hati. Contoh : menyerahkan kendali perusahaan kepada seorang menejer. seperti Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewakilkan kepada Ali radiyallahu’anhu untuk menyembelih qurbannya dan mewakilkan kepada Abu Hurairoh radiyallahu’anhu dalam masalah sodaqoh.
Menghadirkan Tawakal
“Tawakal kepada Allah Ta’ala merupakan ibadah yang dituntut dari seorang mu’min Kekuatan tawakal seseorang kepada Allah Ta’ala kembali kepada pemahamannya tentang rububiyah Allah Ta’ala dan keimanannya yang mendalam terhadap tauhid rububiyah. Maka untuk menghadirkan dan memunculkan tawakal di dalam hati kembali kepada perenungan terhadap atsar-atsar dari rububiyah Allah Ta’ala. Semakin banyak seorang hamba merenung dan memperhatikan kekuasaan dan kerajaan Allah di langit dan di bumi, pengetahuannya bahwa Allah adalah yang memiliki kerajaan langit dan bumi, bahwasannya hanya Dia yang mengatur dan menjalankannya dan pertolongan Allah kepada hamba-Nya merupakan sesuatu yang mudah dibandingkan dengan pengaturan alam semesta ini, maka akan semakin besar pengagungannya kepada Allah, semakin kuat pula tawakalnya kepada Allah Ta’ala, ia pun mengagungkan perintah-Nya (dengan melaksanakannya), dan mengagungkan larangan-Nya (dengan menjauhinya), dan ia pun meyakini tidak ada sesuatupun yang dapat melemahkan-Nya dan tidak ada yang sulit bagi-Nya. “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya” (QS. Ath-Tholaq : 3)” Itulah nukilan perkataan Syekh Sholih Alu Syaikh di dalam kitabnya at-tamhid syarah kitab tauhid. walahu’alam
Penjelasannya, apabila seorang hamba mengilmui tentang keesaan Allah dalam hal menolak bahaya dan mendatangkan manfaat, dalam hal memberi dan menahan, dalam hal mencipatakan dan memberi rizki, dalam hal menghidupakan dan mematikan (dan ini semua adalah rububiyah Allah), maka itu akan membuahkan ubudiyah tawakal kepada-Nya semata secara batin, dan konsekwensi tawakal dan buahnya secara lahiriyah.
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Kadang seseorang salah kaprah dalam memaknai tawakal, ia menganggap bahwa tawakal adalah legowo (menerima total) keadaan tanpa ada upaya perubahan, namun perlu diketahui bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan usaha atau sebab, karena melakukan atau mengambil sebab merupakan kesempurnaa tawakal. Akan tetapi tidak boleh bersandar kepada sebab tersebut. Syekhul islam Abul Abbas rohimahullah berkata, “Meninggalkan sebab adalah celaan terhadap syari’at dan bersandar kepada sebab adalah syirik”. Murid beliau Syamsudin Abu Abdillah rahimahullah berkata, “Pelanggaran terbesar terhadap syari’at adalah meninggalkan sebab karena menyangka bahwa mengambil sebab akan menafikan tawakal”
yang lain berkata, “Mengandalkan sebab adalah celaan terhadap tawakal dan tauhid, sedangkan meninggalkan sebab merupakan celaan terhadap syari’at dan hikmah Allah” karena Allah telah menjadikan segala sesuatu ada sebab dan akibatnya. Maka kita katakan, “Di dalam bertawakal harus terpenuhi dua syarat : pertama, menyerahkan seluruh perkara kepada Allah Ta’ala yang di tangan-NYalah segala urusan. Kedua, tidak boleh bersandar kepada sebab yang dilakukannya. Hati dan batinnya bersandar total kepada Allah Ta’ala, sedangkan anggota badannya menjalani sebab. Dengan itu diketahui bahwa tawakal adalah murni ibadah hati. Barang siapa yang memalingkannya kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik, walaupun dia meyakini bahwa Allah Ta’ala satu-satunya yang menciptakan dan memberi rizki.
Hadits berikut lebih memperjelas: Dari Umar bin Khotob radiyallahu’anhu, ROsulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (Shohih Tirmidzi)
Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makanan, maka Allah jamin dengan memberikan makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak tidur saja di sarangnya sambil menunggu makanan datang, tetapi pergi jauh mencari makanan untuk dirinya dan anak-anaknya.
Ketahuilah, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertawakal kepada Allah, namun belian melakukan usaha. Ketika perang uhud beliau memakai dua baju besi dan ketika hijrah ke madinah beliau menyewa penunjuk jalan, beliau juga berlindung dari panas dan dingin, tapi hal tersebut tidak mengurangi tawakalnya kepada Allah Ta’ala.
Jadi, mengambil sebab yang disyari’atkan menunjukan kesempurnaan tawakal dan kekuatannya, dan meninggalkan sebab menunjukan kebodohannya terhadap syari’at rabbnya. Barangsiapa yang membaca kisah-kisah para Nabi, terkhusus Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya akan melihat bahwasannya mereka adalah manusia yang paling bertawakal kepada Allah Ta’ala, bersamaan dengan itu mereka juga mengambil sebab dan meyakini bahwa hal tersebut merupakan kesempurnaan tawakal kepada Allah.
Penulis: Husni Ridho (Mahasiswa Ma’had Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)
Tuesday 31 May 2011
Seperti Hati Burung
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment