Saturday, 30 October 2010

Mbah Maridjan dan Kaum Nabi Nuh


Oleh: Ama Farah
Dalam setiap peristiwa selalu ada tokoh yang menonjol di sela-sela alur cerita. Gunung Merapi di Yogyakarta, yang menjadi gunung paling aktif sedunia, juga melahirkan tokoh yang kemudian di kenal banyak orang, dialah Mbah Maridjan.

Sosoknya sudah lebih dulu populer di kalangan masyarakat sekitar Merapi, namun nama Mbah Maridjan menjadi semakin menasional --bahkan mungkin mendunia-- setelah pada tahun 2006 media menyorotinya secara terus menerus sebagai seorang jurukunci (kuncen, red) Merapi yang enggan meninggalkan gunung karena berpegang teguh pada tugas yang diembannya. Tugas sebagai kuncen Gunung Merapi, yang dia terima langsung dari raja Yogya kala itu, Sultan Hamengkubuwono IX.

Alkisah, Mbah Maridjan –sebelum meninggal-- bahkan pernah menjadi ikon keperkasaan dan kejantanan lelaki, lewat produk sebuah minuman suplemen yang mendaulatnya sebagai lakon utama dalam iklannya.

Selasa 26 Oktober 2010, Merapi memuntahkan isi kandungannya. Maridjan yang perkasa, membuktikan sekali lagi pada dunia bahwa dia adalah jurukunci yang setia menjaga wilayah yang dikuasakan kepadanya. Dengan tekad bulat, meskipun sirene tanda bahaya sudah meraung-raung, dia tidak beranjak pergi dari rumahnya yang terletak di desa yang paling dekat dengan Merapi. Awan panas “Wedhus Gembel”, yang menurut data lembaga pengawas gunung berapi panasnya mencapai di atas 500 derajat Celcius itu pun akhirnya memanggang tubuh ‘sang jawara’ beserta puluhan orang lainnya yang tidak mengungsi ke tempat aman.

Mbah Maridjan benar-benar menjadi jurukunci. Beberapa saat setelah memuntahkan lava panas, pijaran api, bebatuan dan awan panas, memanggang puluhan orang, banyak ternak, pepohonan serta merontokkan rumah-rumah penduduk, Merapi pun kembali tenang.

Maridjan, yang lagi-lagi sengaja menjemput mautnya sendiri, kembali menjadi buah bibir dan bintang kamera. Dia, ditemukan terkubur reruntuhan rumah dan timbunan pasir gunung dalam keadaan sujud tanpa nyawa.

Kisah Nuh

Sejenak mari kita melihat ke masa ribuan tahun silam, kala Nabi Nuh alaihisalam sedang membangun sebuah bahtera raksasa. Nabi utusan Allah itu sedang menjalankan perintah Tuhannya, yaitu membuat perahu besar untuk menyelamatkan diri dari bahaya banjir. Meskipun dicemooh sebagai orang gila, karena orang-orang disekitarnya memandang aneh ulahnya yang membuat bahtera besar di atas gunung dan bukan di dekat lautan, Nabi Nuh tetap kukuh pada pendiriannya. Ia terus membuat bahtera hingga selesai.

Ketika bahtera itu siap digunakan, Allah Yang Maha Kuasa berkehendak menurunkan air bah hingga menenggelamkan semua orang yang menolak naik perahu besar Nab Nuh. Puncak gunung tempat berpijak anak laki-laki Nabi Nuh bahkan ikut ditelan banjir besar itu.

Nabi Nuh, seorang utusan Allah yang diberi wahyu, patuh kepada Tuhan yang memerintahkannya untuk menyelamatkan diri dari bencana dengan membuat bahtera. Meskipun dia memiliki hubungan khusus dan menjadi orang istimewa di mata Sang Pencipta, dia tetap menghindari bencana banjir dengan menaiki perahu raksasanya, dan tidak mencoba menawar kepada Tuhannya, dengan memilih untuk sekedar bersujud sebagai upaya menghalau bahaya banjir yang menerjang.

Mbah Maridjan, memang orang kepercayaan yang diserahi tanggung jawab menjaga Gunung Merapi, gunung yang dalam kepercayaan adat Jawa memiliki daya magis dan kekuatan luar biasa. Dia adalah kepercayaan seorang sultan, raja Jawa yang disegani kawan dan lawan, raja Jawa yang dipatuhi rakyatnya dengan gelar Hamengkubuwono IX. Masalahnya, ia tak mampu melawan penciptanya Hamangkubuwono IX, yang tak lain, Allah SWT, penguasa alam semesta yang kekuasaannya jauh melebihi kekuasaan sang sultan atau raja manapun.

Media begitu hebat memberitakan sosoknya, hingga sorot mata kamera dan pena terpusat pada sosoknya. Sementara kedaan ribuan pengungsi dan korban lain, juga butuh perhatian ekstra.

Bahkan gempa dan tsunami yang menghentak Kepulauan Mentawai dan memakan lebih banyak korban nyawa dan harta menjadi sajian nomor sekian. Media-media luar negeri rajin menghitung jumlah korban dan memberitakan kondisi terakhir pascabencana Merapi dan tsunami Mentawai, memperhatikan apakah bantuan telah datang kepada para korban dan pengungsi. Tapi media Indonesia berhari-hari hanya berputar pada Mbah Maridjan, Mbah Maridjan dan Mbah Maridjan saja.

Selebihnya, marilah kita pusatkan perhatian kita pada korban musibah yang terus terjadi yang sangat butuh uluran tangan kita.

Marilah kita ikhlaskan Mbah Maridjan, biarlah ia memilih jalannya sendiri, sebagai seorang Mas Penewu Suraksohargo atau Sang Penjaga Gunung Merapi. Marilah kita ber-khusnudzon (berbaik sangka), semoga tunduknya dan sujudnya Mbah Maridjan hingga membawanya pergi, sebagai ketundukan pada Allah Sang Maha Pencipta, bukan pada Merapi.

Dan semoga, di alam sana Mbah Maridjan bisa menikmati berbagai minuman aneka "Rosa" (baca; kuat), yang memiliki citarasa jauh lebih lezat dari "Rosa-Rosa" yang ia tawarkan selama ini di berbagai iklannya di dunia.

0 comments:

Post a Comment