Website Para Ustadz

Kumpulan website resmi para ustadz-ustadz terpercaya, Insha Allah.

Googling atau Yufiding?

www.yufid.com adalah islamic search engine, atau mesin pencari ilmu-ilmu islam.

Sunnah Witir diluar Ramadan

“Wahai orang-orang yang cinta kepada Al-Qur’an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) yang ganjil.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah)

7 Orang Sukses Kuliah sambil Ngaji

Sukses Dunia Akhirat, Why Not?

Waktu-Waktu Terkabulnya Do'a

Jika bekerja pun ada waktu-waktu yang tepat,begitu pula dengan Do'a

Thursday, 7 March 2013

Fadhilah Memelihara Lihyah (Janggut)


Syariat Islam Allah turunkan untuk kebaikan manusia secara umum. Tidak heran, ternyata dalam ibadah yang disyariatkan mengandung kebaikan bagi jiwa dan raga manusia.

Mengenai hal ini syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam risalahnya,

“Agama dibangun atas dasar  berbagai kemashlahatan

Mendatangkan mashlahat dan menolak berbagai keburukan”

Kemudian beliau menjelaskan,

“Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali padanya terdapat berbagai mashlahat yang tidak bisa diketahui secara menyeluruh”


Salah satu ajaran Islam adalah memelihara dan membiarkan tumbuh jenggot. Berikut sedikit pembahasannya.


Jenggot adalah sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Karena beliau sendiri Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang memerintahkannya dan termasuk dalam ajaran Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Potonglah kumis dan peliharalah jenggot.” HR. Al-Bukhary dan Muslim

Dalam hadits digunakan kata perintah (fi’il ‘amr), maka dalam Ilmu ushul di ada kaidah,

“Kata perintah (fi’il ‘amr) menunjukkan hukum (asalnya) wajib”

Maka menurut pendapat terkuat bahwa laki-laki wajib memelihara jenggotnya (membiarkan tumbuh), bahkan memotongnya adalah sebuah larangan (ada juga pendapat boleh dipotong jika sudah melebihi satu genggam).
Memotong jenggot adalah kebiasaan orang-orang musyrik dan Majusi, sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,

“Selisihilah orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan potonglah kumis.”[HR. Bukhari dan Muslim]

Beliau juga bersabda,

“Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot, selisihilah orang-orang Majusi (penyembah matahari).”[HR. Muslim]

Dan menyerupai orang-orang kafir akan mendapat ancaman sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia termasuk golongan mereka.”[HR. Abu Dawud]


Terlihat lebih ganteng dengan jenggot

Karena memang jenggot adalah fitrah laki-laki. Sebagaimana laki-laki memang fitrahnya suka dengan wanita cantik. Jika tidak suka dengan wanita cantik tentu laki-laki itu keluar dari fitrah. Nah, demikian juga jenggot. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sepuluh perkara yang termasuk fithrah: Memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, memasukkan air ke dalam hidung, memotong kuku.”[HR. Muslim]

Dikisahkan bahwa pemimpin kaum Anshar yaitu Qois bin Sa’ad tidak mempunyai jenggot, maka kaumnya sangat meninginkan beliau punya jenggot agar beliau terlihat lebih jantan. Maka kaumnya berkata,

“Memang Sayyid Kami Qais terkenal dengan kepahlawanan dan kedermawanannya, akan tetapi ia tidak memiliki jenggot. Demi Allah, seandainya jenggot itu bisa dibeli dengan dirham, maka kami akan belikan ia jenggot.”

Terkenal juga perkataan di kalangan awam,

“Perhiasan seorang laki-laki pada jenggotnya sedangkan perhiasan wanita pada rambutnya."


Jika ada yang mengatakan,

“Lebih ganteng yang ga pake jenggot kok, keren seperti aktor-aktor terkenal”

Maka kita jawab dengan ayat,

“Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah (yang lebih mengetahui)?” (Al-Baqarah: 140).

Dan kalau kita melihat tokoh-tokoh utama dahulunya juga berjenggot tebal, para raja, ilmuan, cendikiawan semisal plato, aristoteles dan lainnya.


Sehat dengan jenggot

Jenggut ternyata bermanfaat bagi kesehatan laki-laki, begitu juga dengan kumisnya (kumis diperintahkan untuk dipotong, tetapi tidak mesti harus habis). Berikut manfaatnya:

1. Pelindung dari sinar matahari
Sebuah studi terbaru dari University of Southern Queensland mengungkapkan bahwa jenggot dapat memberikan perlindungan yang signifikan dari sinar matahari yang dapat menyebabkan kerusakan kulit dan kanker kulit.

Secara rinci, peneliti menemukan bahwa bagian tubuh yang tertutup oleh kumis dan cambang rata-rata tiga kali lebih sedikit terpapar sinar UV yang berbahaya dibandingkan dengan bagian tubuh yang tidak tertutup rambut apapun.

Dengan menggunakan teknik dosimetrik yang dapat mengukur jumlah sinar atau radiasi yang diserap tubuh, diperoleh fakta bahwa jenggot memberikan perlindungan terhadap sinar matahari hingga 90-95 persen, meski hal itu bergantung pada panjangnya jenggot.

“Secara umum rambut memang menawarkan perlindungan terhadap sinar matahari. Itulah mengapa wanita tak begitu mengalami kerusakan kulit akibat sinar matahari jika rambutnya menutupi bagian belakang leher dan bagian samping wajahnya,” tandas Dr. Nick Lowe, seorang pakar dermatologi terkemuka yang berbasis di London.

“Tapi ternyata ketebalan rambutnya juga berpengaruh. Sama halnya dengan faktor SPF karena makin tinggi kepadatan dan kelebatan rambutnya maka makin tinggi SPF-nya. Makanya ketika saya berpraktik di California, saya sering melihat peselancar yang botak tapi berjenggot justru lebih sering mengalami kerusakan kulit akibat sinar matahari dan pra-kanker di kepala mereka, daripada jika mereka punya rambut di atas kepala,” tambahnya.

Teori lain dinyatakan oleh Iain Sallis, seorang konsultan trikologi. Menurutnya cahaya memancar dalam bentuk garis lurus tapi ketika bertabrakan dengan jenggot yang keriting, maka jenggot itu akan memecah cahayanya sehingga tak pernah mencapai kulit.

2. Mencegah serangan asma
Pria yang asmanya dipicu oleh serbuk bunga dan debu dapat terlindungi oleh jenggot yang lebat karena jenggot itu dapat membantu mengurangi gejala asmanya.

“Kumis yang menutupi area hidung dapat menghambat pemicu alergi atau alergen masuk ke dalam hidung dan terhirup masuk ke paru-paru,” kata Carol Walker, pakar rambut medis dan pendiri Birmingham Trichology Centre.

Tapi menurut seorang dokter umum yang berbasis di London, Dr. Rob Hicks, hanya serbuk sari yang bisa terperangkap dengan cara ini, tapi tidak dengan debu yang berbentuk mikroskopis. Kalaupun bisa terjebak di kumis, debu-debu itu bisa menumpuk di kumis dan hanya tinggal menunggu waktu, lama-lama keduanya pun bisa masuk ke dalam hidung.

“Teorinya, kumis tak serta-merta dapat menghambat pemicu asma untuk measuk ke saluran pernafasan, kecuali jika sangat lebat,” simpul Dr. Felix Chua, dokter dan konsultan penyakit sistem pernafasan dari London Clinic, Harley Street.

3. Memperlambat penuaan
Dari waktu ke waktu, rambut yang tumbuh di wajah dapat membantu menjaga kulit agar tetap awet muda dan sehat.

“Dengan kata lain rambut itu menjaga agar kulit tetap lembab dengan melindunginya dari angin yang dapat mengeringkan kulit dan mengganggu upaya perlindungan terhadap kulit,” ujar Dr. Lowe.

Dr. Lowe juga menyarankan, jika mengenakan pelembab, usahakan agar Anda juga memberi pelembab di kumis dan jenggot. Itu lebih baik daripada mengoleskan pelembab pada bagian wajah yang tak berambut atau telah dicukur karena akan lebih mudah terhapus.

4. Melawan batuk
Menurut Carol Walker, jenggot tebal yang tumbuh di bawah dagu dan leher akan meningkatkan temperatur leher serta membantu melawan demam dan batuk.

“Rambut adalah semacam insulator yang dapat membuat Anda terus merasa hangat. Jenggot yang panjang dan tebal juga dapat menjebak udara dingin dan meningkatkan suhu leher sehingga Anda bisa bertahan di bawah cuaca dingin,” tukasnya.

5. Mencegah ruam kulit
Justru jika Anda malas bercukur itu tandanya kulit Anda terhindar dari ruam kulit. “Bercukur itu merupakan penyebab utama infeksi bakteri pada bagian tubuh yang tertutup jenggot. Aktivitas ini dapat berakibat pada ruam akibat pisau cukur, rambut tumbuh ke dalam kulit dan folikulitis (infeksi folikel rambut yang menyebabkan munculnya bintik-bintik di kulit,” ungkap Dr. Martin Wade, konsultan dan pakar dermatologi dari London Skin and Hair Clinic.[9]


Jangan kita baru memelihara jenggot karena tahu ada keuntungan dunia saja

Ini adalah yang salah, kita baru memelihara jenggot karena baru tahu menyehatkan, baru memelihara jenggot karena sedang “ngetrend” para artis dan tokoh dunia mulai memelihara jenggot.

Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud : 15-16]


Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Tuesday, 5 March 2013

Shalat Hanya dibayar dengan Shalat

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

"Artinya : Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata. 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berrsabda, 'Barangsiapa lupa shalat, hendaklah dia mengerjakannya ketika mengingatnya, tiada kafarat baginya kecuali yang demikian itu'. Lalu beliau membaca firman Allah. 'Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'".

Dalam riwayat Muslim disebutkan. Barangsiapa lupa shalat atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya, maka kafaratnya ialah mengerjakannya selagi mengingatnya".

MAKNA HADITS
Shalat memiliki waktu tertentu dan terbatas, awal dan akhirnya, tidak boleh memajukan shalat sebelum waktunya dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.

Namun jika seseorang tertidur hingga tertinggal mengerjakannya atau dia lupa hingga keluar dari waktunya, maka dia tidak berdosa karena alasan itu. Dia harus langsung mengqadha'nya selagi sudah mengingatnya dan tidak boleh menundanya, karena kafarat pengakhiran ini ialah segera mengqadha'nya. Maka Allah berfirman.

"Artinya : Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku" [Thaha : 14]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini ketika menyebutkan hukum ini, mengandung pengertian bahwa pelaksanaan qadha' shalat itu ialah ketika sudah mengingatnya.

PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA
Para ulama saling berbeda pendapat, apakah boleh menundanya ketika sudah mengingatnya ataukah harus langsung mengerjakannya .?

Jumhur ulama mewajibkan pelaksanaannya secara langsung. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah tiga imam, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan para pengikut mereka. Sementara Asy-Syafi'i mensunatkan pelaksanaannya secara langsung dan boleh menundanya.

Asy-Syafi'i berhujjah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat tertidur, mereka tidak melaksanakan qadha' shalat di tempat mereka tidur. Tapi beliau memerintahkan agar mereka menghela hewan-hewan mereka ke tempat lain, lalu beliau shalat di tempat tersebut. Sekiranya qadha' ini wajib dilaksanakan secara langsung seketika itu pula, tentunya mereka juga shalat di tempat mereka tertidur.

Adapun jumhur berhujjah dengan hadits dalam bab ini, yang langsung menyebutkan shalat secara langsung. Mereka menanggapi hujjah Asy-Syafi'i, bahwa makna langsung di sini bukan berarti tidak boleh menundanya barang sejenak, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan shalat dan memurnikannya. Boleh menunda dengan penundaan yang tidak seberapa lama untuk menunggu jama'ah atau memperbanyak orang yang berjama'ah atau lainnya.

Masalah ini dikupas tuntas oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab 'Ash-Shalat' dan dia menegaskan pendapat yang menyatakan pembolehan penundaannya.

Mereka saling berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan secara sengaja hingga keluar waktunya, apakah dia harus mengqadha'nya ataukah tidak..?

Kami akan meringkas topik ini dari uraian Ibnul Qayyim di dalam kitab 'Ash-Shalat', karena uaraiannya di sana disampaikan secara panjang lebar.

Para ulama telah sepakat bahwa orang yang menunda shalat tanpa alasan hingga keluar dari waktunya, mendapat dosa yang besar. Namun empat imam sepakat mewajibkan qadha' di samping dia mendapat hukuman, kecuali dia memohon ampun kepada Allah atas perbuatannya itu.

Ada segolongan ulama salaf dan khalaf yang menyatakan, siapa menunda shalat hingga keluar dari waktunya tanpa ada alasan, maka tidak ada lagi qadha' atas dirinya sama sekali, bahwa qadha'nya tidak akan diterima, dan dia harus bertaubat dengan 'taubatan nashuha', harus memperbanyak istighfar dan shalat nafilah.

Orang-orang yang mewajibkan qadha' berhujjah bahwa jika qadha' ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma'afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima'afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha' ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.

Adapun di antara orang-orang yang tidak mewajibkan qadha' bagi orang yang sengaja menunda shalat ialah golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha' ini tertuju kepada orang yang lupa dan tertidur. Berati yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari'at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti Jum'at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Barangsiapa mendapatkan satu raka'at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar", sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka'at atau kurang dari satu raka'at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.

Tentang tidak diterimanya qadha' orang yang menunda shalat hingga keluar dari waktunya, bukan berarti dia lebih ringan dari orang-orang yang diterima penundaannya. Mereka ini tidak berdosa. Kalaupun qadha'nya tidak diterima, hal itu dimaksudkan sebagai hukuman atas dirinya. Ibnul Qayyim menguaraikan panjang lebar masalah ini. Maka siapa yang hendak mengetahuinya lebih lanjut, silakan lihat kitabnya.

Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di dalam 'Al-Ikhiyarat'. Dia berkata, "Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyari'atkan qadha' bagi dirinya dan tidak sah qadha'nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu'. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi'i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, 'Ar-Raudhatun Nadiyyah'.

Inilah yang dapat kami ringkas tentang masalah ini, dan Allah-lah yang lebih mengetahui mana yang lebih benar.

KESIMPULAN HADITS DAN HUKUM-HUKUMNYA
[1]. Kewajiban qadha' shalat bagi orang yang lupa dan tertidur, yang
dilaksanakan ketika mengingatnya.
[2]. Kewajiban segera melaksanakannya, karena penundaannya setelah
mengingatkannya sama dengan meremehkannya.
[3]. Tidak ada dosa bagi orang yang menunda shalat bagi orang yang mempunyai alasan, seperti lupa dan tertidur, selagi dia tidak mengabaikannya, seperti tidur setelah masuk waktu atau menyadari dirinya tidak memperhatikan waktu, sehingga dia tidak mengambil sebab yang dapat membangunnkannya pada waktunya. Kafarat yang disebutkan di sini bukan karena dosa yang dilakukan, tapi makna kafarat ini, bahwa karena meninggalkan shalat itu dia tidak bisa mengerjakannya yang lainnya, seperti memberi makan, memerdekakan budak atau ketaatan lainnya. Berarti dia tetap harus mengerjakan shalat itu.

dari artikel Qadha Shalat Yang Tertinggal almanhaj.or.id

Monday, 4 March 2013

Shalat Jama' dan Qashar



Oleh : Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadrami

MAKNA DAN HUKUM QASHAR

Qashar adalah meringkas shalat empat raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738). Dasar mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/165).
Allah Ta’ala berfirman:

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. an Nisaa’: 101).

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’, padahal manusia telah aman?”. Sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang hal itu dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).

Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dg sanad yg shahih).

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku menemani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Kami pergi bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR

Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin Biz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).

Nafi’ rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).

Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).

SHALAT TATHAWWU’ / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’ bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari ,Muslim)

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disyari’atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardu, maka beliaupun berkata: “Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah aku akan menyempurnakan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari. Lihat zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/315-316,473-475, Fiqhus Sunnah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/223-229. Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)

Adapun shalat-shalat sunnah /nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu’utlat adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap disyari’atkan berdasarkan hadist-hadist shahih dalam hal ini.

JAMA’

Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar atau Maghrib dg Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. (lihat Fiqus Sunnah 1/313-317).

Jama’ Taqdim adalah mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan Isya dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ Taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun Jama’ Ta’khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dab Isya’ dikerjakan dalam waktu Isya’.Jama’ Ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. (lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As Shalah, Prof. Dr.Abdullah Ath Thayyar 177).

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).

Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).

MENJAMA’ JUM’AT DENGAN ASHAR

Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alas an apapun-baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.

Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).

Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)

JAMA’ DAN SEKALIGUS QASHAR

Tidak ada kelaziman antara jama’ dan qashar. Musafir disunahkan untuk mengqashar shalat dan tidak harus menjama’, yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Mina pada waktu haji wada’, yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama’ (lihat Sifat haji Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, karya Al Albani), dan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah melakukan jama’ sekaligus qashar pada wkatu perang Tabuk.
(HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL Bassam 2/308-309 ). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam selalu melakukan jama’ sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan. (As Shalah 181.Pendapat ini merupakan fatwa para ulama termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz). Jadi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedikit sekali menjama’ shalatnya karena beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukannya ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308).

MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM

Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya:”Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu ABbas radhiallahu anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).

MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM

Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).

SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang di jama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.

Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist shaihi dalam hal ini sehingg tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Sunday, 3 March 2013

Menggabung Niat Shalat Sunnah dengan Tahiyatul Masjid


Pertanyaan:
Wahai Syaikh yang mulia, apakah dua raka’at shalat Dhuha bisa digabungkan dengan shalat sunnah tahiyatul masjid?

Jawaban:

Misalnya seseorang masuk masjid pada waktu Dhuha, lalu ia berniat melaksanakan shalat Dhuha, maka shalat tahiyatul masjid sudah termasuk di dalamnya. Begitu pula ketika masuk, lalu ia laksanakan shalat rawatib, maka shalat tahiyatul masjid juga sudah termasuk di dalamnya. Misalnya, seseorang melaksanakan shalat rawatib qobliyah shubuh atau rawatib qobliyah zhuhur, maka shalat tahiyatul masjid pun tercakup di dalamnya. Akan tetapi sebaliknya, shalat tahiyatul masjid tidak bisa mencukupi shalat rawatib. Seandainya seseorang masuk masjid setelah dikumandangkan adzan zhuhur, lalu ia berniat laksanakan shalat tahiyatul masjid, maka ini tidak bisa mencakup shalat rawatib.

[Liqo’at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, kaset no. 108]

(*) Karena memang dalam hadits yang membicarakan shalat sunnah tahiyatul masjid, sifatnya umum. Asalkan mengerjakan shalat sunnah dua raka’at apa saja, termasuk shalat sunnah rawatib dua raka’at, maka sudah dianggap mendapatkan keutamaan shalat tahiyatul masjid. Lihat saja bagaimana redaksional haditsnya,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, hendaklah ia kerjakan shalat dua raka’at sebelum ia duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714)

Artikel www.rumaysho.com