Website Para Ustadz

Kumpulan website resmi para ustadz-ustadz terpercaya, Insha Allah.

Googling atau Yufiding?

www.yufid.com adalah islamic search engine, atau mesin pencari ilmu-ilmu islam.

Sunnah Witir diluar Ramadan

“Wahai orang-orang yang cinta kepada Al-Qur’an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) yang ganjil.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah)

7 Orang Sukses Kuliah sambil Ngaji

Sukses Dunia Akhirat, Why Not?

Waktu-Waktu Terkabulnya Do'a

Jika bekerja pun ada waktu-waktu yang tepat,begitu pula dengan Do'a

Friday 28 October 2011

Sebelas Rambu Bagi Seorang Pemimpin

Pertama : Niat Ikhlas.
Seorang pemimpin dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan semata-mata hanya untuk menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh yang dijanjikan Allah kepadanya, jika melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik. Karena setiap amal tergantung niat pelakunya, dan keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah untuk memperkaya diri atau semata-mata Lillahi Ta'ala.

Kedua : Pemimpin Harus Dari Kaum Laki-Laki.
Seorang wanita tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik untuk komunitas tertentu, skala kecil, apalagi untuk masyarakat yang lebih luas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوا أَمْرَهُمْ اِمْرَأََةٌ.

"Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita".[1]


Salah satu hikmahnya, karena wanita memiliki beberapa kelemahan dan kondisi yang dapat menghalanginya untuk melaksanakan tugas. Wanita memiliki akal dan fisik yang lemah, serta tidak terlepas dari kondisi tertentu, misalnya haidh, nifas, melahirkan, menyusui, dan lain-lain.

Ketiga : Tidak Meminta Jabatan.
Secara syar'i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ.

"Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan" [2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.

"Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim".[3]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سمرة لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا. وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ.

Ya 'Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik".[4]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan salah seorang sahabat yang datang meminta agar diberi sebuah jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّا- والله- لَا نُوَلِّي هَذَا الأمرَ أحدًا سَأَلَهُ وَلَا أحدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.

"Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya." [5]

Alasan penolakan ini, karena setiap orang yang berambisi tentu berani melakukan apa saja demi mendapat jabatan atau demi mempertahankannya. Oleh karena itu, selayaknya jangan berambisi dan berusaha untuk mendapatkan jabatan pemerintahan. Sebab hal itu dapat menghalangi taufiq Allah Azza wa Jalla, sehingga sepenuhnya akan dibebankan kepadanya. Sikap ambisius akan mendorongnya berbuat aniaya dan dosa besar demi mendapatkan dan mempertahankannya. Namun, bila jabatan itu diberikan kepada orang yang tidak menginginkannya bahkan tidak menyukainya, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan membantunya dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.

Sebagian orang berdalih bolehnya meminta jabatan dengan mendasarkan kepada kisah Nabi Yûsuf Alaihissallam yang meminta kedudukan kepada Raja Mesir, sebagaimana diceritakan oleh Allah:

"Yusuf berkata: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)". [Yûsuf/12:55].

Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari Syikh 'Abdul-Malik ar- Ramadhani dalam kitab Madârikun-Nazhar: "Padahal sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian dari Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf /12:55].

Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang bisa menjaga) dengan kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang pandai menjaga). Begitu juga kata al-'Âlîm (orang yang mengetahui) dengan kata al-'Âlîm (orang yang sangat mengetahui).Perhatikan benar-benar perbedaan ini, karena merupakan salah satu rahasia Al-Qur`ânul-Hakim!

Sungguh mengherankan melihat segelintir orang yang mempersilakan dirinya menerima jabatan-jabatan politik -meski sistem parlemen tersebut kafir dan keji- lantas menjadikan perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tadi sebagai alasannya. Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang menawarkan jabatan kepadanya. Tawaran itupun baru diterima setelah sang penguasa memberikan jaminan keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran, pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan tuntutan-tuntutan!

Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:

"Dan Raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku," maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf/12:54-55].

Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan dan terlalu percaya diri. Sehingga setan datang melukiskan khayal, seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran. Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi manusia. Wallahul-Musta'an. Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara syar'i, dan tidak menerapkan undang-undang rajanya yang kafir itu dengan mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya:

"Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui". [Yûsuf/12:76].[7]

Anggaplah alasan-alasan mereka itu kita terima, maka kita bantah dengan kaidah Ushul Fiqih: "Syariat sebelum kita tidak lagi menjadi syariat bagi kita, jika bertentangan dengan syariat kita". Dalam masalah ini perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam itu bertentangan dengan syariat kita. Karena kita dilarang meminta jabatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Wahai Abdur-Rahmân, janganlah meminta jabatan. Jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani. Jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong dalam melaksanakannya". Muttafaqun 'alaihi.

Kita bantah pula, sesungguhnya Nabi Yûsuf Alaihissallam telah mendapat rekomendasi dari Allah, dan beliau Alaihissallamhanya melaksanakan yang diperintahkan Allah. Artinya, seluruh manusia pasti terkena hukum: "Karena, jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani" kecuali orang-orang yang dijaga oleh wahyu sehingga bisa terhindar dari kesalahan.

Adapun orang-orang berlagak pintar itu tunduk kepada undang-undang yang sedang atau akan berlaku. Bahkan sebelum menduduki jabatan, mereka harus bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi yang berlaku. Begitulah kenyataannya! Kita tidak pernah melihat kenyataan selain itu. Sungguh aneh orang yang ingin menyingkirkan kekufuran dengan membawa kekufuran baru.

Secara singkat, dalam hal ini dapat kita simpulkan lima jawaban.
1. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak meminta jabatan, namun hanya ditawari, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Adapun perkataan "jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)", ini merupakan penjelasan tentang spesialisasi yang beliau miliki dan pilihan secara pribadi.

2. Nabi Yûsuf Alaihissallam terhindar dari tekanan Raja dan dapat melaksanakan syariat Islam secara baik. Dua hal ini mustahil dapat diterapkan pada undang-undang sekuler sekarang ini.

3. Nabi Yûsuf Alaihissallam mendapat rekomendasi dari Allah karena kedudukan beliau selaku rasul. Beliau terhindar dari gangguan-gangguan yang bisa menimpa orang lain.

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin: Bahwa Amirul-Mukminin 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengangkat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjadi Gubernur Bahrain. Lalu Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu pulang dengan membawa uang sebesar 10.000 dinar. Maka Umarpun berkata kepadanya: "Hai musuh Allah dan kitab-Nya, apakah engkau telah mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?"
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Aku bukan musuh Allah dan kitab-Nya, akan tetapi aku musuh terhadap orang yang memusuhi Allah dan kitab-Nya!
"Lalu dari mana harta sebanyak itu?" selidik Umar.
"Dari ternak kuda-kudaku beranak pinak, dari hasil bumiku, dan dari hadiah yang datang terus-menerus," jawab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Merekapun menyelidikinya dan mendapati kebenaran pengakuan Abu Hurairah Radhiyalahu 'anhu tadi.

Setelah itu 'Umar Radhiyallahu 'anhu memanggilnya kembali untuk diserahi jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata kepadanya: "Apakah engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini, yakni Nabi Yûsuf Alaihissallam?!"

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Yûsuf Alaihissallam adalah seorang nabi, putera seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku, hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut terhadap tiga kesulitan sebagai akibat dari dua perkara".

"Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!" sergah Umar Radhiyallahu 'anhu.

Jawab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu "Saya takut berkata tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa belas kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku dirampas dan kehormatanku dicemarkan!"[8]

4. Syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita bila bertentangan dengan syariat kita. Dalam masalah ini meminta jabatan seperti yang dilakukan Nabi Yûsuf Alaihissallam bertentangan dengan syariat kita.

5. Nabi Yûsuf Alaihissallam menduduki jabatannya untuk menjalankan misi kerasulan. Sekiranya ada yang boleh mengikuti perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tersebut, maka ia harus seorang pewaris nabi, yaitu ulama mujtahid.

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata: "Jika tindakan semacam itu dibenarkan, maka seorang alim boleh merekomendasikan dirinya untuk menempati kedudukan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai ulama. Hal itu termasuk menceritakan nikmat-nikmat Allah kepadanya sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat yang telah dianugerahkan itu" [9]. Wallahu a'lam.

Keempat : Berhukum dengan Hukum Allah.
Ini merupakan kewajiban terbesar yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan penguasa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah". [al-Mâ`idah/5:49].

Memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan seorang pemimpin. Jika ternyata ia menyimpang dari hukum Allah, maka ia bukanlah orang yang pantas untuk mengemban jabatan itu.

Kelima : Menjatuhkan Hukum Secara Adil Diantara Manusia.
Ini juga termasuk kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

"Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan". [Shâd/38:26].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"...dan (menyuruh kamu) agar senantiasa bersikap apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil .." [an-Nisâ`/4:58].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا.

"Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, pada hari Kiamat kelak, ia berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Allah Azza wa Jalla yang Maha pengasih. Kedua tangan Allah sebelah kanan. (Mimbar tersebut) diberikan untuk orang yang bersikap adil dalam berhukum mereka, keluarga mereka, dan yang mereka kuasai" [10]

Oleh karena itu, seorang pemimpin wajib bersikap adil terhadap rakyatnya dan memberikan perlakuan yang sama di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"... Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." [al-Mâ`idah/5:8].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَمْيرٍ عَشَرَةٍ إِلَّا وَهُوَ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا حَتَّى يَفُكَّهُ العَدْلُ أَوْ يُوْبِقَهُ الجورِ.

"Tidaklah seorang lelaki memimpin sepuluh orang, kecuali ia akan didatangkan dalam keadaan tangan yang terbelenggu pada hari Kiamat. Kebaikan yang ia lakukan akan melepaskannya dari ikatan, atau dosanya akan membuat dirinya celaka" [11].

Keenam : Siap Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya.
Seorang pemimpin harus membuka pintunya untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat, mendengarkan pengaduan orang-orang yang teraniaya dan keluhan mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَ حَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ.

"Tidaklah seorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pintunya dari orang-orang yang memiliki kebutuhan, keperluan serta orang-orang fakir, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari keperluan, kebutuhan dan hajatnya" [12]

Hadits ini merupakan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap pemimpin yang menutup pintu dari rakyat yang dipimpinnya.

Ketujuh : Memberi Nasihat Kepada Rakyatnya dan Tidak Mengkhianatinya.
Seorang pemimpin harus selalu memberi nasihat yang baik kepada rakyatnya tentang segala perkara berkaitan dengan urusan dunia maupun agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ.

"Tak seorang pemimpinpun yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak pernah letih dari mengayomi dan menasihati mereka, kecuali pemimpin itu akan masuk ke dalam surga bersama mereka" [13].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.

"Tidaklah seorang hamba yang mendapat amanah dari Allah untuk mengayomi rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah telah haramkan surga baginya". [14]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.

"Dari Tamim ad-Daari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Diin (agama) itu adalah nasihat," kami bertanya: "Untuk siapa?" Beliau menjawab: "Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya".[15]

Masyarakat juga harus memberikan nasihat kepada pemimpin dan tetap mentaatinya, selama mereka tidak disuruh kepada perkara yang dilarang Allah. Jangan sampai mereka melepaskan diri dari ketaatan dan melakukan pemberontakan walau bagaimanapun buruknya penguasa itu. Kecuali bila terlihat kekufuran yang nyata, dan ada dalil yang jelas tentang pengkafiran tersebut dari Allah.

Kedelapan : Pemimpin Jangan Menerima Hadiah.
Jika ada rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin, hampir bisa dipastikan, dibalik itu mereka ingin agar sang pemimpin dekat dengannya dan menyukai dirinya. Maka seorang pemimpin janganlah menerima hadiah-hadiah semacam ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الهَدِيَّةُ إِلَى الإِمَامِ غَلُوْلٌ

"Hadiah yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah pengkhianatan" [6].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

هَدَايَا العُمَّالِ غَلُوْلٌ

"Hadiah-hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah pengkhianatan".[17]

Demikian juga, semua orang yang bertugas melayani urusan kaum muslimin, ia tidak boleh menerima hadiah dan jangan ada sedikitpun yang disembunyikannya. Berapapun hadiah yang diterimanya, harus ia serahkan kepada pemerintah. Jangan ada sedikitpun yang dijadikan sebagai milik pribadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمْنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

"Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk mempimpin lalu ia menyembunyikan satu jarum atau lebih, maka pada hari Kiamat nanti ia akan datang membawanya" [18]

Salah seorang gubernur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada yang berkata: "Yang ini untuk kalian dan yang ini dihadiahkan untukku," lantas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا.

"Amma ba'du, mengapa pejabat yang kami angkat berkata: "Yang ini dari hasil pekerjaan kalian, sementara yang ini khusus dihadiahkan untukku?" Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu ia tunggu, apakah masih ada orang yang mau memberikan hadiah untuknya ataukah tidak?" [19]

Kesembilan : Seorang Pemimpin Harus Mengambil Penasihat dari Kalangan Orang-Orang Shâlih.
Seorang pemimpin harus mengambil penasihat dari kalangan orang-orang shâlih yang mampu mengingatkannya saat ia lupa, dan membantunya saat teringat, selalu mengawasinya agar bersikap baik dan berlaku adil, memberinya nasihat dan pengarahan, serta mendorongnya untuk berbuat baik dan menjaga ketakwaan. Dengan cara ini, maka semua urusan pasti lurus.

Adapun penasihat yang buruk, tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan darinya. Karena mereka tidak dapat membantu untuk berbuat kebajikan, bahkan akan membantu setan untuk menggelincirkan si pemimpin. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ تَعَالَى.

"Tidak ada nabi yang Allah utus, dan tidak pula ada seorang pemimpin yang Dia angkat, kecuali mereka mempunyai dua jenis teman dekat. Teman yang menyuruhnya untuk berbuat baik serta selalu membantunya dalam berbuat baik, dan teman yang menyuruhnya berbuat untuk jahat serta selalu mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Orang yang selamat, ialah orang yang memang dijaga Allah Subhanahu wa Ta'ala" [20].

Kesepuluh : Seorang Pemimpin Harus Bersikap Ramah Terhadap Rakyat.
Sebagaimana dikatakan para ulama salaf, seorang pemimpin harus bersikap sebagai anak terhadap orang-orang tua, sebagai saudara untuk yang sebaya, dan sebagai orang tua terhadap anak-anak. Ia harus bersikap lembut, ramah serta menyayangi mereka, dan tidak membebaninya dengan urusan yang tidak mereka sanggupi. Dengan sikap ini, sebagai pemimpin, ia berhak mendapat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ

"Ya Allah, bagi siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan kepadanya. Dan barang siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia.". [21]

Kesebelas : Jujur Menjalankan Semua Urusan yang Berkaitan dengan Kaum Muslimin.
Dalam hal ini, seorang pemimpin harus membantu ahli sunnah serta membasmi ahli bid'ah dan pelaku kerusakan, mengibarkan panji amr ma'ruf nahi mungkar serta panji-panji jihad fi sabilillah, berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan, agama, harta kaum muslimin dan lain-lain.

Ia juga harus mengevaluasi kinerja para pejabat dan pegawainya secara kontinyu, memperhatikan cara mereka menjalankan tugas, dan sikap mereka terhadap rakyat. Ia juga harus memilih jalan terbaik dalam menyelesaikan semua problem masyarakat. Para bawahan juga diharuskan memberi laporan-laporan secara jujur dan rinci mengenai tugas yang telah dilakukan. Sesungguhnya ia akan mempertangungjawabkan semua tugas dan kewajibannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Thursday 27 October 2011

Inilah Keutamaan Kota Madinah, Semoga Kita Bisa Mengunjunginya


Oleh: Ust. Firman Firdaus

Begitu banyak peninggalan-peninggalan bersejarah dengan nilai-nilai keimanan tinggi terkumpul di Madinah. Keutamaan dan kemuliaan kota Madinah menghiasi pendengaran dan penglihatan.

Allah 'Azza wa Jalla menjadikan kota Madinah sebaik-baik tempat setelah Makkah Al Mukarramah. Tempat diturunkannya wahyu dan tempat bertemunya antara Muhajirin dan Anshor, dan di dalamnya ditegakkan bendera jihad fi sabilillah dan tersebarnya Al Islam keseluruh penjuru alam. Banyak hadist Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan sisi-sisi keutamaan kota Madinah. Diantaranya adalah:

1. Madinah Sebagai Kota Suci

Madinah oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dijadikan sebagai kota suci. Di sinilah Islam tumbuh, berkembang, dan menyebar luas, sehingga semesta yang pada waktu itu tertutup oleh kegelapan jahiliyah menjadi terang benderang oleh cahaya Islam.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bin `Ashim Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لِأَهْلِهَا وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ وَإِنِّي دَعَوْتُ فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا بِمِثْلَيْ مَا دَعَا بِهِ إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ

"Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Makkah dan mendoakan penduduknya dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim telah mengharamkan Makkah. Dan sesungguhnya aku juga berdoa agar setiap sha` dan mudnya diberkahi dua kali lipat dari yang didoakan Ibrahim untuk penduduk Makkah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ حَرَّمَ مَكَّةَ. وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِيْنَةَ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا. لاَ يُقْطَعُ عِضَاهُهَا وَلاَ يُصَادُ صَيْدُها

"Sesungguhnya Ibrahim menjadikan Makkah Tanah Suci dan aku menjadikan Madinah Tanah Suci di antara tepinya. Tidak boleh ditebang kayu berdurinya dan tidak boleh diburu binatang buruannya." (HR. Al-Bukhari)

Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan batasan-batasan tanah haram di Madinah. Wilayah haram membentang dari Gunung Tsaur (yang merupakan perbatasan sebelah utara) hingga Gunung I'er (yang merupakan perbatasan sebelah selatan). Dan dari Harroh Waqim (yang merupakan perbatasan sebelah timur) hingga Harroh Wabroh (yang merupakan perbatasan sebelah barat).

2. Jaminan Syafaat Bagi Orang yang Menanggung Kesusahan di Madinah dan Meninggal di Dalamnya

Ini merupakan sebuah kehormatan bagi penduduk Madinah atau yang menziarahinya apabila meninggal di dalamnya. Rasullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menganjurkan umatnya agar menutup usia di Kota tersebut. Beliau bersabda,

“Siapa yang mampu menutup usia di Madinah, maka hendaklah dia meninggal di sana, karena aku memberi Safa`at pada orang yang meninggal di sana.”( HR. Tirmizi dan Ahmad)

Diriwayatkan dari Sa'id bin Abu Sa'id dari Abu Sa'id maula Al-Mahri, dia datang kepada Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'Anhu di malam peristiwa Al-Harrah meminta nasehatnya untuk keluar dari Madinah, seraya mengeluhkan harga barang-barang yang tinggi dan ia mempunyai banyak tanggungan. Dia menyampaikan, sudah tidak mampu lagi menanggung cobaan dan kesulitan hidup Madinah. Lalu Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu menjawab, “Celakalah engkau! Aku tidak merestuimu untuk melakukan hal itu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

لَا يَصْبِرُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا فَيَمُوتَ إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا

"Tidaklah seseorang yang tetap tinggal (di Madinah), bersabar dengan cobaan dan kesukarannya lalu meninggal di sana, melainkan aku akan memberi Safa'at dan menjadi saksinya pada hari kiamat, jika ia seorang muslim.”(HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ صَبَرَ عَلَى لَأْوَائِهَا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Siapa bersabar dengan kesukaran di Madinah, maka aku akan memberi syafa'at atau menjadi saksi untuknya pada hari Kiamat." (HR. Muslim)

Dalam sabdanya yang lain,

مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَفْعَلْ فَإِنِّي أَشْهَدُ لِمَنْ مَاتَ بِهَا

Siapa di antara kalian yang bisa meninggal di Madinah, hendaklah dia berusaha ke arah itu. Karena sesungguhnya Aku menjadi saksi bagi siapa yang meninggal di sana." (HR. Muslim dari Ibnu Umar)

Amirul Mukminin, Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu pernah berkeinginan meninggal di kota Madinah, beliau berdoa,

اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Ya Allah, karuniakanlah aku syahid di jalan-Mu dan jadikan kematianku di negeri Rasul-Mu Shallallahu 'Alaihi Wasallam (Madinah)." (HR. Bukhari)

3. Tempat Kembalinya Keimanan

Tidak diragukan lagi, Madinah adalah ibukota pertama umat Islam dan darinya tersebar Islam keseluruh penjuru alam. Dan setiap muslim menyimpan rasa rindu untuk menziarahinya dan karena kecintaannya kepada Rasulullah Shalallahu A'laihi Wasallam.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا

“Sesungguhnya keimanan akan kembali ke Madinah seperti kembalinya seekor ular ke dalam lubangnya.”( HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bebas dari Thaun dan Dajjal

Salah satu keutamaan kota Madinah lainnya adalah ia dijaga oleh para Malaikat sehingga tha’un—yaitu wabah penyakit menular yang bisa memusnahkan semua penduduk suatu negeri— dan Dajjal tidak bisa memasukinya. Banyak hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentangnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Di pintu-pintu masuk Madinah terdapat para malaikat sehingga wabah tha’un dan Dajjal tidak bisa memasukinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Tidaklah setiap negri melainkan Dajjal akan menginjakkan kakinya di sana kecuali Makkah dan Madinah. Dan tidaklah setiap pintu masuk kota tersebut melainkan ada para malaikat yang berbaris menjaganya. Lalu Dajjal singgah di Sapha, kemudian Madinah berguncang tiga kali dan melemparkan setiap orang kafir dan munafik dari dalamnya menuju ke tempat Dajjal." (HR. Bukhari dan Muslim, redaksinya berasal dari Muslim)

5. Madinah Adalah Tempat Yang Penuh Barakah Dan Kebaikan

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda tentang kota Madinah,

إِنَّهَا طَيْبَةُ يَعْنِي الْمَدِينَةَ وَإِنَّهَا تَنْفِي الْخَبَثَ كَمَا تَنْفِي النَّارُ خَبَثَ الْفِضَّةِ

"Ia Thaibah, yaiut Madinah. Ia menghilangkan segala keburukan sebagaimana api yang menghilangkan kotoran pada perak." (HR. Muslim)

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata, "Kami tiba di Madinah ketika kota tersebut dilanda wabah penyakit sehingga Abu Bakar dan Bilal mengeluhkan keadaan itu. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyaksikan keluhan para sahabatnya, beliau berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ وَصَحِّحْهَا وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا وَحَوِّلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ

" Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada Madinah sebagaimana Engkau membuat kami mencintai Makkah bahkan lebih besar lagi, bersihkanlah lingkungannya, berkatilah untuk kami dalam setiap sha` serta mudnya (sukatan) dan alihkanlah wabah penyakit (Madinah) ke daerah Juhfah." (HR. Muslim)

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لِأَهْلِهَا وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ وَإِنِّي دَعَوْتُ فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا بِمِثْلَيْ مَا دَعَا بِهِ إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ

"Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Makkah dan mendoakan penduduknya dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim telah mengharamkan Makkah. Dan sesungguhnya aku juga berdoa agar setiap sha` dan mudnya diberkahi dua kali lipat dari yang didoakan Ibrahim untuk penduduk Makkah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

6. Memiliki Beberapa Nama yang Mulia

Madinah memiliki nama banyak yang menunjukkan akan kedudukannya yang tinggi. Tetapi hanya ada enam nama yang tersebutkan dalam hadits-hadits shahih, yaitu:

a. Yatsrib, ini adalah nama Madinah di zaman jahiliah. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menggantinya karena maknanya yang buruk dan melarang menggunakan nama ini setelah Islam.

b. Al-Madinah, merupakan nama yang terkenal setelah hijrah. Telah datang banyak penyebutannya dalam Al Quran dan As Sunnah shahihah.

c. Thobah & Thoibah, kedua nama ini diberikan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

d. Ad Daar wal Iman, datang penyebutan kedua nama ini dalam Al-Quran Al-Karim pada firman Allah 'Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Ad Daar wal Iman(yaitu kota Madinah) sebelum mereka." (QS. 59:9)

Masih banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan keutamaan kota Madinah. Semoga ada niat besar dalam diri kita untuk menziarahinya, karena Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إلَّا إلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ : الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ ، وَمَسْجِدِي هَذَا ، وَالْمَسْجِدُ الْأَقْصَى

"Janganlah memaksakan bersafar (ke tempat tertentu karena keutamaan tempat tersebut) kecuali untuk pergi ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha." (Muttafaq 'Alaih). Wallahu a’lam bishowaab. Semoga bermanfaat. [PurWD/voa-islam.com]

* Penulis adalah Mahasiswa di Jami'ah Islamiyah Madinah.

Saturday 22 October 2011

Ngawur! Steve Jobs diklaim masih punya garis keturunan langsung dengan Rasulullah


Ada hal konyol terkait heboh pemberitaan media tentang meninggalnya mendiang bos Apple, Steve Jobs. Seiring terungkapnya fakta tentang asal usul Steve Jobs yang disinyalir berdarah Muslim Suriah, satu hal ngawur bin konyol adalah klaim yang menyebut bahwa Jobs masih mempunyai garis keturunan langsung dengan Rasulullah SAW!

Ayah kandung Jobs diketahui seorang muslim Suriah bernama Abdul Fattah John Jandali. Diketahui bahwa riwayat keluarga Jandali ternyata salah satu keluarga terkemuka di Homs, Suriah. Secara ngawur, sepupu Steve Jobs, Bassma Al Jandali, mengklaim trah Jandali punya garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW!

“Ayah Steve, Paman saya, Abdul Fattah John Jandali datang dari Homs. Keluarga Jandali adalah keluarga yang punya hubungan darah dengan keluarga Nabi Muhammad SAW,” klaim Bassma secara ngawur seperti dikutip dari Gulf News. Belakangan Basma diketahui sebagai seorang jurnalis di Timur Tengah.

Steve Jobs pun ternyata punya nama Arab. Nama Arabnya adalah Abdul Lateef Jandali. Ketika ia lahir dan diadopsi oleh keluarga yang kemudian memberinya nama Steve Jobs.

Bassma bercerita, ketika kecil ibunya Bushra Jandali Rifa’e kerap mengatakan ada keturunan Jandali yang hidup di AS. Itu adalah pamannya, Abdul Fattah Jandali, yang juga ayah Steve Jobs.

Paman Bassma lainnya Abdul Wahid, bercerita kalau Abdul Fattah Jandali akhirnya punya anak hasil zina dengan Joanne Schieble (perempuan Kristen Amerika keturunan Jerman), yang kemudian anak tersebut diadopsi oleh keluarga lain (anak tersebut tak lain adalah Steve Jobs yang popular itu). Abdul Fattah memilih tak pulang ke Suriah karena malu akan skandalnya. Tapi akhirnya ia tetap menikahi Joanne dan punya puteri (adik Steve Jobs) bernama Mona Jandali Simpson.

“Kami memang tak pernah bertemu. Tapi kami semua di bawah trah Jandali tetap punya hubungan. Saya merasa seharusnya saya bertemu Steve. Seharusnya saya melepasnya, mengatakan sampai jumpa..,” kata Bassma.

Jandali lahir di Horm Suriah, pada 1931. Ia satu-satunya anak lelaki dari lima bersaudara. Ayahnya seorang tuan tanah. Pada umur 18 tahun, ia kuliah di Universitas Amerika di Beirut, Libanon, Ia dikenal sebagai pegiat yang mendukung Pan-Arab. Setelah lulus, ia menjadi imigran di Wisconsin, Amerika.

Namun, hubungan Jandali dan Schieble tidak direstui orang tua masing-masing. Akhirnya, menurut Jandali dalam wawancara dengan the New York Post, Agustus 2011, secara diam-diam, Schieble membawa lari Steve Jobs dari Wisconsin ke San Fransisco.

Di kota itulah, Steve Jobs diadopsi oleh pasangan Paul Jobs dan Clara Hagopian. Mereka sudah tujuh tahun menikah dan divonis dokter tidak dapat memiliki anak. Steve Jobs adalah nama pemberian dari orang tua angkatnya. Sampai akhir hayatnya, Steve Jobs tidak pernah bertemu Jandali, ayah kandungnya.

Kepada tabloid the Sun, Agustus lalu, Jandali menyatakan mimpinya untuk bisa bertemu Steve Jobs. “Saya berharap sebelum terlambat ia akan menemui saya. Meski hanya untuk minum kopi, itu akan membuat saya senang sekali,” katanya. Tapi Steve Jobs tidak mau menanggapi permintaan itu.

Ia menegaskan ingin sekali bertemu sang anak bukan karena mengincar kekayaannya yang diperkirakan US$ 8 miliar. “Saya punya uang sendiri. Yang saya tidak punya adalah putra saya .. itu membuat saya sedih.”

Walau begitu, Steve Jobs tahu ia mempunyai saudara kandung perempuan bernama Mona Jandali, sekarang menjadi Mona Simpson. Keduanya mulai berkenalan dan menjadi sangat dekat ketika dewasa. Steve Jobs bahkan menyebut novelis itu sebagai sahabatnya paling dekat.

Jandali, kini 80 tahun, tinggal di Reno, sebuah kota dekat Nevada. Ia bekerja dari Senin sampai Jumat sebagai wakil presiden di sebuah kasino. Ia bukan seorang praktisi muslim, namun percaya Islam sebagai doktrin dan budaya. Meski lahir dari ayah muslim, Steve Jobs tidak pernah kenal agama Islam. Ia berpindah menjadi Buddha dari agama ayah angkatnya yang Nasrani.

Diluar kecerdasan seorang Steve Jobs, sungguh ngawur, mengklaim seorang pezina sebagai keluarga dengan garis keturunan langsung Muhammad SAW. Mana ada keluarga dari trah Rasulullah SAW memiliki usaha kasino, bahkan sampai berzina. Sungguh orang-orang demikian, selain tak pantas menyebut diri sebagai trah Rasulullah , mereka juga pada dasarnya tak layak mendudukinya. Wallohua’lam. (dbs/arrahmah.com)

Sunday 16 October 2011

Langit sebagai Payung Bumi

Kebanyakan manusia yang memandang ke arah langit tidak pernah berpikir tentang fungsi atmosfir sebagai pelindung. Hampir tak pernah terlintas dalam benak mereka tentang apa jadinya bumi ini jika atmosfir tidak ada.

Foto berikut ini adalah kawah raksasa yang terbentuk akibat hantaman sebuah meteor yang jatuh di Arizona, Amerika Serikat. Jika atmosfir tidak ada, jutaan meteorid akan jatuh ke Bumi, sehingga menjadikannya tempat yang tak dapat dihuni.



Namun, fungsi pelindung dari atmosfir memungkinkan makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupannya dengan aman. Ini sudah pasti perlindungan yang Allah berikan bagi manusia, dan sebuah keajaiban yang dinyatakan dalam Al Qur'an.

Dalam Al Qur'an, Allah memberikan ilmu kepada kita tentang salah satu sifat makhluk-Nya yang dirancang khusus sebagai tameng untuk kehidupan di bumi. Itulah sesuatu yang sangat menarik tentang langit. Dalam hal ini, ulama menafsirkan langit sebagai atmosfir, beberapa lapisan di atas bumi yang mempunyai rancangan komposisi kimiawi yang begitu akurat.

وَجَعَلْنَا السَّمَاء سَقْفًا مَّحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ

Allah swt. berfirman, "Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya." (Al Qur'an, 21:32)

Sejumlah penelitian mengkaji lebih dalam tentang sifat unik langit ini. Antara lain:

Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi dan membahayakan makhluk hidup.

Atmosfir juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfir hanya membiarkan agar ditembus oleh sinar-sinar tak berbahaya dan berguna, - seperti cahaya tampak, sinar ultraviolet tepi, dan gelombang radio.

Semua radiasi ini sangat diperlukan bagi kehidupan. Sinar ultraviolet tepi, yang hanya sebagiannya menembus atmosfir, sangat penting bagi fotosintesis tanaman dan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Sebagian besar sinar ultraviolet kuat yang dipancarkan matahari ditahan oleh lapisan ozon atmosfir dan hanya sebagian kecil dan penting saja dari spektrum ultraviolet yang mencapai bumi.

Fungsi pelindung dari atmosfir tidak berhenti sampai di sini. Atmosfir juga melindungi bumi dari suhu dingin membeku ruang angkasa, yang mencapai sekitar 270 derajat celcius di bawah nol.

Tidak hanya atmosfir yang melindungi bumi dari pengaruh berbahaya. Selain atmosfir, Sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat keberadaan medan magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan radiasi berbahaya yang mengancam planet kita.

Radiasi ini, yang terus- menerus dipancarkan oleh matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat mematikan bagi makhuk hidup. Jika saja sabuk Van Allen tidak ada, semburan energi raksasa yang disebut jilatan api matahari yang terjadi berkali-berkali pada matahari akan menghancurkan seluruh kehidupan di muka bumi.

Dr. Hugh Ross berkata tentang perang penting Sabuk Van Allen bagi kehidupan kita:
Bumi ternyata memiliki kerapatan terbesar di antara planet-planet lain di tata surya kita. Inti bumi yang terdiri atas unsur nikel dan besi inilah yang menyebabkan keberadaan medan magnetnya yang besar. Medan magnet ini membentuk lapisan pelindung berupa radiasi Van-Allen, yang melindungi Bumi dari pancaran radiasi dari luar angkasa. Jika lapisan pelindung ini tidak ada, maka kehidupan takkan mungkin dapat berlangsung di Bumi.

Satu-satunya planet berbatu lain yang berkemungkinan memiliki medan magnet adalah Merkurius - tapi kekuatan medan magnet planet ini 100 kali lebih kecil dari Bumi. Bahkan Venus, planet kembar kita, tidak memiliki medan magnet. Lapisan pelindung Van-Allen ini merupakan sebuah rancangan istimewa yang hanya ada pada Bumi.

Energi yang dipancarkan dalam satu jilatan api saja, sebagaimana tercatat baru-baru ini, terhitung setara dengan 100 milyar bom atom yang serupa dengan yang dijatuhkan di Hiroshima. Lima puluh delapan jam setelah kilatan tersebut, teramati bahwa jarum magnetik kompas bergerak tidak seperti biasanya, dan 250 kilometer di atas atmosfir bumi terjadi peningkatan suhu tiba-tiba hingga mencapai 2.500 derajat celcius.

Singkatnya, sebuah sistem sempurna sedang bekerja jauh tinggi di atas bumi. Ia melingkupi bumi kita dan melindunginya dari berbagai ancaman dari luar angkasa. Para ilmuwan baru mengetahuinya sekarang, sementara berabad-abad lampau, kita telah diberitahu dalam Al Qur'an tentang atmosfir bumi yang berfungsi sebagai lapisan pelindung. mnh/the miracle of quran

Sunday 9 October 2011

Amalan Sholih di Awal Dzulhijah

Keutamaan Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijah

Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”

Di antaranya lagi yang menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah. Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]

Keutamaan Beramal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari lainnya dan di sini tidak ada pengecualian. Jika dikatakan bahwa amalan di hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, itu menunjukkan bahwa beramal di waktu itu adalah sangat utama di sisi-Nya.”

Bahkan jika seseorang melakukan amalan yang mafdhul (kurang utama) di hari-hari tersebut, maka bisa jadi lebih utama daripada seseorang melakukan amalan yang utama di selain sepuluh hari awal bulan Dzulhijah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah.” Lalu beliau memberi pengecualian yaitu jihad dengan mengorbankan jiwa raga. Padahal jihad sudah kita ketahui bahwa ia adalah amalan yang mulia dan utama. Namun amalan yang dilakukan di awal bulan Dzulhijah tidak kalah dibanding jihad, walaupun amalan tersebut adalah amalan mafdhul (yang kurang utama) dibanding jihad.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa amalan mafdhul (yang kurang utama) jika dilakukan di waktu afdhol (utama) untuk beramal, maka itu akan menyaingi amalan afdhol (amalan utama) di waktu-waktu lainnya. Amalan yang dilakukan di waktu afdhol untuk beramal akan memiliki pahala berlebih karena pahalanya yang akan dilipatgandakan.”[9] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[11]

Amalan yang Dianjurkan di Sepuluh Hari Pertama Awal Dzulhijah

Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[12] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa. Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[13], …”

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [15]

Namun ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.” Mengenai riwayat ini, para ulama memiliki beberapa penjelasan.

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib.[17]

Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah. Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah.

Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya.

Kesimpulan: Boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya.

Catatan: Kadang dalam hadits disebutkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Yang dimaksudkan adalah mayoritas dari sepuluh hari awal Dzulhijah, hari Idul Adha tidak termasuk di dalamnya dan tidak diperbolehkan berpuasa pada hari ‘Ied.

Keutamaan Hari Arofah

Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,


“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”

Itulah keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat mereka masing-masing.

Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.” Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan. Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah. Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.

Jangan Tinggalkan Puasa Arofah

Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keutamaan puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.

Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah.

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan,

“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.”

Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas ulama.[29]

Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)

Ada riwayat yang menyebutkan,


“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”

Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.

sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-sholih-di-awal-dzulhijah-dan-puasa-arofah.html

Sunday 2 October 2011

Problema Air Dua Qullah


Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua qullah dan kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah atau tidak, maka air tersebut menjadi najis. Misalnya airnya adalah 5 liter, kemasukan satu tetes kencing walaupun tidak merubah bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut tetap najis karena air lima liter masih kurang dari dua qullah.
Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’[1]. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.

Alangkah bagusnya jika kita dapat melihat pembahasan berikut ini.

Hadits Air Dua Qullah

Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah dan Ad Darimi)[2]

Jika Air Lebih Dari Dua Qullah

Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual), apabila air telah mencapai dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika air tersebut berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia menjadi najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).

Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter –berarti lebih dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak tersebut tetap dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air atau baunya, maka pada saat ini air tersebut najis.

Inilah mantuq (makna tekstual) dari hadits di atas. Namun secara mafhum dari hadits ini (makna inplisit yaitu bagaimana jika air tersebut kurang dari dua qullah lalu kemasukan najis), para ulama berselisih pendapat. Perhatikan penjelasan selanjutnya.

Jika Air Kurang Dari Dua Qullah

Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan pengikut mereka menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak berubah rasa, warna atau baunya.

Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif sedikit) kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak berubah rasa, bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan mereka adalah berdasarkan mafhum (makna inplisit) dari hadits dua qullah ini yaitu jika air telah mencapai dua qullah tidak dipengaruhi najis maka kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua qullah, jadilah najis.

Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan ulama Najd menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu rasa, warna atau baunya.

Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[3]

Hadits ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih didahulukan daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan oleh para ulama.

Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat ‘illah (sebab). Jadi kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak berubah salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut tidaklah menjadi najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat kedua lebih layak untuk dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu a’lam bish showab.[4]

Kesimpulannya: Najis atau tidaknya air bukanlah dilihat dari ukuran (sudah mencapai dua qullah ataukah belum). Jika air lebih dari dua qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifat tadi, maka air tersebut dihukumi najis. Begitu pula jika air kurang dari dua qullah. Jika salah satu dari tiga sifat tadi berubah, maka air tersebut dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka tetap dihukumi sebagaimana asalnya yaitu suci.

Imam Asy Syaukani mengatakan, “Tidak perlu kita perhatikan air tersebut banyak atau sedikit, dua qullah atau kurang.” –Demikian perkataan beliau dalam matan Ad Durorul Bahiyah-. Sehingga yang jadi patokan ketika air kemasukan najis adalah air tersebut berubah bau, rasa, warnanya atau tidak. Jika berubah karena kemasukan najis, maka air tersebut menjadi najis. Begitulah ringkasnya.

Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat.